FLASHBACK
Ia ingat betul bagaimana mimpi-mimpinya sewaktu di kampung dulu, ia ingin menjadi seorang pesohor, nampang di TV, media cetak, apalagi media online. Maka dipilihlah jurusan Ilmu Komunikasi sebagai pilihannya. Disitu ia akan dilatih bagaimana menjalin komunikasi secara personal, komunal, maupun berbicara di depan publik. Dari pikiran visonernya itu dia intinya ingin ‘omongannya didengarkan oleh siapa saja’. Mengapa ia memilih Ilmu Komunikasi, karena dengan ilmu itu ia akan tahu bagaimana caranya menghadapi hidup. Hidup serba keras dan menantang, barangkali dengan sebuah tutur kata yang baik, kerasnya hidup itu akan sedikit melunakkan beban.
Mengapa ia kuliah di Yogyakarta, barangkali karena di situlah para pelajar bertemu. Dari segala penjuru, baik lokal maupun internasional, dari S1 sampai S3, dari yang muda sampai usia renta. Karena itulah iklim intelektual di kota ini begitu menghidupi siapapun yang menghirupnya. Disini segala bentuk macam pikiran ada, segala bentuk tabiat terlihat tanpa sedikitpun cacat, segala kesempatan terbuka, bahkan ketika seseorang itu belim menemukan ‘kunci’ hidupnya. Ketika di kampung ia memang gadis yang biasa saja, tak terlalu pintar. Tapi ada ‘wow factor’ yang merasuk dalam kalbunya. Apa itu ?
Ia adalah seseorang yang jago dalam membuat sastra, baik pantun, puisi, maupun cerpen semua bisa dibuatnya. Meskipun sebagian temannya menganggap, ‘ah biasa saja tuh si Marini, nggak ada istimewanya’. Memang ia bukan pemenang olimpiade, tingkat kecamatan sekalipun. Tapi dengan bakatnya yang besar itu ia akan berusaha menjadi seorang yang didengar omongannya, dibaca tulisannya, bahkan kalaupun ia bermimpi setinggi langit. Semoga saja bisa dicontoh perilakunya. Ia tetap tegar meskipun di ranking sekolahnya mendekati zona relegasi, bahkan pernah terperosok ke jurang klasemen. Semua ditempuhnya, dihadapilah semua dengan sabar. Konyolnya, orang dengan bakat bahasa itu salah jurusan. Kelas XI dan XIInya ia masuk IPA, dengan perjuangan yang berat tentunya. Semata-mata demi memenuhi gengsi kedua orang tuanya.
Kala itu orangtuanya menginginkan ia menjadi seorang dokter, seorang yang bermanfaat bagi masyarakat, seorang yang dianggap mempunyai budi pekerti luhur, juga seseorang dengan strata sosial tinggi. Maka berusahalah orangtua Marini mendorong anaknya supaya masuk jurusan IPA. Tak henti-hentinya ia diforsir oleh orangtuanya untuk belajar, belajar, dan belajar. Segala macam bimbelpun dicoba-nya, tapi tak ada yang membuatnya dong(faham). Ia mengikuti bimbel hanya sekadar formalitas belaka, untuk memenuhi keinginan orang tuanya yang egois itu.
Hari demi hari dijalaninya, tapi hidupnya serasa dijejali rumus sampai perut-nya pun tak terurus. Makin kuruslah ia karena beban di otaknya. Pikirannya ingin pensiun dulu dari angka, analisa, sampai logaritma. Tapi tak bisa dilakukannya, untuk dua tahun ini. Marini sudah terpenjara dalam dunia eksakta, dunia yang membenggu dipikirannya. Dunia yang tak bisa ia pahami via logika sastra.
Terpaksalah ia sekolah dengan sisa-sisa ambisi yang dimilikinya, ia seperti ogah-ogahan melangkahkan kakinya ke sekolah. Lebih baik berdiam diri di kamar untuk sekadar menulis puisi, pantun, ataupun menulis diarynya. Dari diary itulah tersimpan banyak pengalamannya mulai dari saat menetes darah haidnya sampai masa puber seperti saat ini. Karena dianggap sebagai ‘siswi kelas teri’ di IPA maka ia sering diolok-olok. Tak peduli apakah karena ia bukan tipe siswi ‘berotak kiri’, atau karena ia cuma seorang maniak puisi. Dalam manis getir perjuangannya di kelas IPA iapun akhirnya lulus UAN, meski dengan nilai yang mepet, semepet kesempatan hidupnya.
Di IPA 2, kelas dimana ia menuntut ilmu, hampir semua orang menggunjingnya, tak terkecuali wali kelasnya. Di satu sisi ia memang menjadi bahan hinaan karena nilainya yang acapkali anjlok, atau karena puisi-puisinya yang membelalakkan mata. Tapi yang unik adalah ia tetap menjadi primadona bagi laki-laki di kelasnya. Secara postur memang Marini layak menjadi model, kulitnya sawo matang (tapi nggak sematang pikirannya), badannya pun tinggi, suaranya mendayu-dayu (mirip Orang Solo). Tapi ada satu yang tidak memenuhi persyaratan. Apa itu ? Ia kurang berisi. Barangkali karena sering stress dengan rumus-rumus eksakta, badannyapun meluruh seketika.
Marini kerap disoraki teman-temannya dengan kata ‘kutilang’, apa itu itu adalah singkatan dari kata: kurus, tinggi, dan langsing. Sebuah kata yang begitu menohok gadis dengan body yang bisa dibilang ‘datar’. Tentu saja ia kecewa dikatainseperti itu, tapi apa boleh buat orang kerjaannya stress melulu. Seorang siswa SMA punya motto dalam hidupnya, tiada hari tanpa belajar. Sedangkan Marini, tiada hari tanpa stress. Dalam bahasa yang lebih ekstremnya, tiada hari tanpa diary. Dari diarylah ia menuliskan segala macam unek-uneknya, keluh kesah-nya, bahkan hutang-hutangnya. Tak ada kata yang paling jahannam baginya selian: ‘Kamu salah ngambil jurusan ya ....”
Tapi biar bagaimanapun seorang Marini tetaplah Primadona dalam hal sastra, setiap orang yang membaca tulisannya bakal terkesima, orang yang mendengar desah puisinya pun akan dibuatnya membara, apalagi melihat senyum manis diwajahnya pastilah orang itu akan jatuh cinta. Marini berbeda dengan gadis remaja kebanyakan, ia tak sering nongkrong, apalagi pacaran. Sehari-harinya dihabis-kannya dengan membuat tulisan-tulisan, meresensi karya sastra milik orang lain, lebih-lebih ia sering menghabiskan waktunya di Perpustakaan Sekolah. Bangunan yang jarang dipijaki oleh siswa lain.
Disaat ia dicaci teman-temannya, apalagi yang bergender wanita. Ternyata ia begitu disuka oleh Pak Agustinus, seorang guru Bahasa Indonesia yang berumur renta. Tiap kali ada pelajaran membuat cerita, ia pasti disanjungnya. Tiap kali ada sesi membuat pantun, dialah orang yang membuat temannya melamun. Disaat ada tugas membuat prosa, cuma dia yang bisa membuat Pak Agustinus tak mengedipkan mata. Begitu anggun karya sastra buatannya. Sampai-sampai dalam suatu sesi Pak Agustinus memujinya.