"Tanah Kosong (Kaplingan) tidak akan terjual, kecuali yang Ngesot itu pergi", Kata Abah padaku.
Ya, memang komplek perumahan yang berada di depan rumah bapakku ini hanya tinggal se-kapling saja. Sejak pertama mulai dipasarkan hingga seluruh kapling terbeli dan dibangun rumah bertype 36, tanah yang berada di pojokkan dan persis letaknya berhadapan dengan rumah Bapak ini masih kosong, alis tak laku-laku dijual. Hanya ditumbuhi tanaman liar dan sesekali buat parkir kendaraan tamu baik rumahku maupun tetangga.
Awalnya aku sendiri tak begitu menghiraukan akan adanya hal mistis yang menghuni tanah tersebut (Perempuan ngesot), namun setelah sekian lama dan beberapa kali ada keluarga atau seorang yang sedang melihat, kemudian bermaksud membeli tanah tersebut tak pernah jadi, baru aku percaya jika cerita penghuni yang ngesot itu benar adanya.
Pernah waktu itu, pagi, sekitar jam 9, ada serombongan keluarga yang hendak membeli tanah dan coba tawar-menawar di depan rumahku dengan sang developernya. Aku sedang ada di teras rumah, sambil baca buku dan ngopi, tak sengaja aku mendengar perbincangan mereka, hal tawar-menawar harga dan jika disetujui, ada beberapa permintaan dari pembeli, kesanggupan developer, dan seterusnya. Belumlah beranjak dari sana, Bapak menghampiriku sambil bersih-bersih lantai pakai sapu kelud bilang,Â
"Hayo, itu nanti jadi gak orangnya beli tanah?", tanya Bapak
"Emang kenapa pak?", tanyaku lanjut
"Kita tunggu saja, pasti nanti gak bakalan deal", jawab Bapak sambil tersenyum.
Dan, benar apa yang dikatakan Bapak, seminggu pun gak ada pergerakan perihal pembangunan rumah di tanah kosong itu, kalau gak salah sudah ada 5 - 6 orang calon pembeli yang selalu gagal tidak jadi memakai tanah itu.
Bukan Bapak saja yang punya indra istimewa di keluarga, Adikku yang bungsu pun mengiyakan jika depan itu ada penunggunya.
"Mas, ada yang pengen ajak main dan bercanda lho", kata adikku sambil senyum-senyum ngelihat depan rumah
"Hah, siapa, temanmu kah?", tanyaku
"Biasanya, itu si mbak yang ngesot, lagi jalan di depan rumah...", jawab adikku.
Rasa penasaranku justru membuncah, rasa ingin tahu gimana raut muka atau bentuk wanita ngesot penunggu tanah depan rumah bapak ini bertambah besar.
Akhirnya, kalo gak salah ingat saat itu malam jumat, seperti malam biasanya aku duduk-duduk di teras depan, ditemani kopi dan gitar.