Hujan yang mengguyur selama 5 jam (5/3/2019) di wilayah Kabupaten Madiun (utara) mencipta genangan air karena debit curah hujan yang tinggi ditambah lagi sungai saluran air yang menampung pun meluap hingga ke permukiman warga hingga menimbulkan bencana (banjir).
Dan, di keesokan hari (6/3/2019) meluas hingga menyentuh ruas tol (Caruban-Kertosono).
Menurut BPBD Kabupaten Madiun, jumlah awal pengungsi ada di angka 3518 orang, 3639 rumah terdampak (35 desa, 7 Kecamatan).
Jika hujan lebat terjadi, ada beberapa wilayah di Kabupaten Madiun ini menjadi langganan banjir, meski dalam skala yang kecil. yaitu, Kecamatan wungu dan Balerejo, itu pun hanya 3-4 Desa terdampak dengan pemukiman yang dekat dengan aliran sungai.
Beberapa inovasi dan langkah pemerintah membendung laju debit air yang kadangkala seperti air bah di musim penghujan. Diantaranya merevitalisasi aliran sungai yang melintasi area penduduk. Namun, itu belum bisa menjadi rolemodle yang pas juga demi mempersilakan laju air mengalir dengan tenang tanpa menimbulkan dampak bencana.
Kabupaten Madiun memiliki topography alam pegunungan. Kerawanan bencana hampir selalu menyentuhnya, dari longsor hingga banjir bandang.Â
Trik sederhana adalah optimalisasi peremajaan tanaman (hutan) di area pegunungan (dataran tinggi) di wilayah Kecamatan Kare dan Gemarang.
Budaya mencintai Alam Semesta adalah kunci merawatnya hingga anak cucu kita. Keserakahan Kita akan hasil bumi kadang tak merasa membuat kehancuran ekosistem, termasuk timbulnya longsor dan banjir.
7 Kecamatan yang terdampak banjir adalah merupakan alur perjalanan aliran sungai yang bermuara pada dua kecamatan di dataran tinggi tersebut. yaitu Saradan, Wonoasri, Wungu, Balerejo, Mejayan, Pilangkenceng, Madiun dan Saradan. Pusat Pemerintahan ada di wilayah Kecamatan Mejayan pun tak luput dari terjangan Banjir, dan Caruban sebagai kota kecil yang dilintasi sungai purba.Â