"Enakkah Pakdhe?", tanya Adiba
"Enaklah, Diba mau?", aku tawarkan sekali teguk kopi dalam cawan, mumpung Ibuknya gak ada. Ha, langsung Adiba kegirangan.
"Iya, mauuuuu......?", sahutnyaÂ
Sekelumit obrolan sore itu, melengkapi kedamaian kami bertiga (aku dan Adikku) meminum secangkir kopi. Minuman yang mempunyai corak warna Hitam Kecoklatan pekat ini sangat digandrungi dan bahkan menjadi hal wajib bagi seluruh anggota keluarga kami untuk meneguknya walau sedikit. Sebagai cara menjaga keeratan ikatan persaudaraan di keluarga.
Dan hari ini, generasi milenial justru menggandrunginya, bukan hanya kaum tua saja. Perlulah dilestarikan, Karena bukan hanya sekedar minuman yang tersaji, namun kehadirannya bisa menghadirkan rasa nyaman, pemantik kreatifitas, mempererat persaudaraan, mempersatukan keberagaman hingga menyulut genjatan pertengkaran, tentunya dengan takaran yang tak melampaui batas.
Memasuki abad ke-17 orang-orang Eropa mulai mengembangkan perkebunan kopi sendiri. Pertama-tama nereka mengembangkannya di Eropa, namun iklim di sana tidak cocok, kemudian mereka mencoba membudidayakan tanaman tersebut di daerah jajahannya termasuk Indonesia.Â
Salah satu pusat produksi kopi dunia ada di Pulau Jawa yang dikembangkan bangsa Belanda. Untuk masa tertentu kopi dari Jawa sempat mendominasi pasar kopi dunia. Saat itu secangkir kopi lebih popular dengan sebutan "Cup of Java" atau "Secangkir Jawa" (Sumber ).
Kemudian, coba kita cari makna yang terkandung dalam secangkir kopi. Pahit-manis pada kopi ibarat getir dan indahnya hidup. Jika disyukuri, perpaduan rasa keduanya malah terasa nikmatÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H