[caption id="attachment_118570" align="alignleft" width="300" caption="www.google.com"][/caption] Abu-abu, warna baju kerja yang kupakai ketika beberapa hari yang lalu berkesempatan mengunjungi Merapi, Yogyakarta. Sungguh baju tersebut tidak pas untuk pendakian gunung, karena memang perjalanan cucimata tersebut hanya acara insidental saja dari tujuan utama saya berada di kota tersebut. Tapi, warna abu-abu tersebut serasa serasidengan timbunan sisa abu vulkanik hasil erupsi Merapi. Sudah tidak terlalu banyak sekarang, hanya tersisa di pinggir-pinggir jalan, mungkin sudah terbawa oleh air hujan menuju ke lembah-lembah. Pohon-pohon meranggas masih ada, tetapi hanya sedikit saja, selebihnya Merapi telah mulai menghijau kembali. Titik evakuasi saat Mbah Maridjan wafat demi loyalitasnya pada Merapi telah dilindungi oleh rumah-rumahan kecil dan sudah jadi obyek wisata pula kini.
Malam sebelumnya, setelah bertahun-tahun mengidamkan, akhirnya saya berhasil mengajak teman-teman saya ‘ngangkring’ di angkringan Lek Man di dekat stasiun Tugu. Angkringan Lek Man ternyata punya banyak saudara. Sebut saja angkringan Pak Wik, Pak Seh dan Lek No yang berjejer di sebelahnya. Tapi penganan yang dijual sama saja (enaknya). Sego kucing, sate ati, telor puyuh, gorengan, beberapa minuman, teh, jahe, susu dan kopi joss sebagai bintangnya. Kopi hitam yang semakin nikmat dengan pengaruh rasa gosong dari bara ini menjadi favorit pengunjung. Kata kawan saya yang kebetulan pernah mencicipi, angkringan itu punya quality control. Dari tahun ke tahun rasanya tidak berubah, tetap sedap, tetap nikmat.
Kala itu sebagian besar yang datang adalah anak-anak muda yang saya tebak adalah para mahasiswa. Mereka bersantai di keremangan malam sambil menikmati makanan murah meriah sesuai kantong mahasiswa. Sambil ‘nggereneng-nggereneng’ tentang suka-duka aktivitas mereka hari itu. Tak tersisa lagi tempat di trotoar karena dipenuhi oleh mereka.
Menuju hotel, sepanjang perjalanan saya memperhatikan papan-papan reklame yang semakin merajai kedua sisi jalanan Djokdja. Kalau biasanya di Jakarta kita risih dengan papan-papan iklan karena semrawut pemasangannya, maka tidak demikian dengan yang saya rasakan di Djokdja. Memandangi papan-papan itu menjadi hiburan tersendiri bagi saya. Selain kontennya yang menarik, warna-warnanya pun atraktif. Pemasangannya pun tidak membuat mata protes. Jakal (Jalan Kaliurang), Jamal (Jalan Magelang), Jalan Gejayan (Jl. Affandi) adalah contoh jalan utama Djokdja yang rapat dengan papan reklame. Sesuai rapatnya toko-toko kecil yang menyediakan aneka ragam kebutuhan mahasiswa.
Ya, Yogyakarta memang kota yang menghadirkan banyak inspirasi. Setengah tahun saja tidak ke sana, sudah banyak perubahan yang terjadi. Kota dinamis nan romantis ini memang tidak pernah layu. Selalu segar dengan ide-ide kreatif yang turut merangsang pertumbuhan ekonomi kreatifnya. Tidak dapat bergantung dari keberlimpahan sumber daya alamnya, Djokdja memperkuat usaha kecil menengahnya dengan mengembangkan ekonomi kreatif. Dalam suatu perbincangan dengan Sri Sultan HB X bersama Dedy Mizwar di Kantor Gubernur, Kafi Kurnia mengungkapkan bahwa insight Djokdja adalah alon-alon atau pelan-pelan dalam bahasa Indonesia. Alon-alon sepertinya sudah dijiwai oleh masyarakat Djokdja. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh para wisatawan. Begitu lepas dari hiruk pikuk kota besar dan menginjakkan kaki ke kota ini, yang terasa adalah ketenangan, kenyamanan, dan perasaan santai. Itulah yang dicari wisatawan ketika berlibur. Jika warga Djokdja mampu memanfaatkan dan mengolah insight ini menjadi beragam bisnis, tentu akan menggerakkan roda-roda perekonomian Djokdja. Dan itulah yang terjadi sekarang, ekonomi Djokdja ditopang oleh bisnis kreatifnya.
Memang bukan Merapi atau lesehan Lek Man saja yang menarik dari Djokdja. Sebagian orang Indonesia yang pernah mencicipi tinggal di kota ini pasti setuju. Bahwa jika mereka kembali ke Djokdja setelah beberapa lama, pasti akan merasakan kerinduan magnetis terhadap kota ini. Datang ke Djokdja seakan makan kacang, ingin lagi dan lagi. Jadi, Kapan ke Djokdja lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H