Mohon tunggu...
Sari Oktafiana
Sari Oktafiana Mohon Tunggu... Guru - A mother of five kids who loves learning

Living in the earth with reason, vision, and missions...but I can't make everybody happy.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pilihan, Sikap Toleransi

7 April 2019   09:19 Diperbarui: 7 April 2019   09:45 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebentar lagi Indonesia hendak mengadakan pesta akbar demokrasi yaitu pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Riuh sekali baik di social media maupun di dunia nyata terutama mereka para pendukungnya entah di pihak A, B, maupun C. Semua mengklaim kebenaran dan bertarung dengan membagikan berbagai macam berita, argumentasi entah benar entah hoax. 

Terus membagikan berbagai macam ujaran kebencian dan seringkali memaparkan negativitas. Bagi saya, yang juga telah menentukan untuk tidak golput, ada hal yang cukup memprihatinkan adalah sikap toleransi kita. Seperti apakah sikap toleransi kita?

Menurut Vogt (1997) toleransi dapat dimaknai sebagai sikap menahan sesuatu yang kita tidak sukai. Lalu mengutip dari pendapat berbagai pakar toleransi (Gibson, 2006; Sullivan dan Transue, 1999; Sullivan dkk., 1982; Vogt, 1997) sikap toleransi bertujuan untuk mengatasi atau menghindari konflik dan orang perlu mentoleransi hal-hal yang dibenci, tidak disetujui atau tidak disukai. 

Dengan kata lain bagi Vogt (1997) apabila kita hendak berkompromi maka memerlukan sikap toleransi. Masih menurut Vogt (1997), bahwa kebalikan dari toleransi adalah diskriminasi, bukan prasangka yang akhirnya berujung menjadi intoleransi.

Bagi saya sebagai pemilih ataupun pendukung salah satu paslon atau pun salah satu parpol, kita dapat menentukan pilihan sikap kita apakah memilih toleransi ataupun intoleransi? Tetapi, apakah kita sudah merasa sedemikian benar sehingga kita menganggap orang lain bodoh dan salah? Apakah kita pantas menjadi hakim atas benar dan salahnya seseorang? Apakah kita tidak lagi menatap keindahan masa depan bila hidup kita penuhi dengan kebencian dan intoleransi?

Bagi saya hidup adalah misteri, kita bisa saja membutuhkan mereka atau liyan yang kita anggap berbeda dengan kita. Maka untuk itu saya memilih toleransi, walaupun saya harus sedemikian menahan diri untuk TIDAK BERBAGI ketidaksukaan saya atas calon pasangan presiden atau pun calon anggota legislatif. Saya harus berusaha untuk tetap ingat dan positif diantara sekian paparan negativitas. 

Karena saya merasa minim untuk mendapatkan kebenaran (untuk menemukan "truth" membutuhkan multiple perspektif) maka saya berusaha untuk menghindari hal-hal yang mungkin "fitnah".

Mungkin ada yang tersinggung dengan tulisan ini, saya menghaturkan mohon maaf dengan pilihan TOLERANSI saya. Mungkin benar dengan apa yang disampaikan oleh (Schuyt, 2001) bahwa "Tolerance is a flawed virtue for a flawed society (toleransi adalah kebajikan yang cacat bagi masyarakat yang cacat").

Referensi: Doorn, M. V. (2012). Tolerance.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun