Masih Adakah Surga untuk Kaum Non Muslim? Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh tiga siswa kelas 11 dan 12 diakhir sesi wawancara kami di sebuah sekolah agama, pertanyaan yang tentu saya jawab walaupun saya pada waktu itu sebagai peneliti, Â dengan tujuan untuk menjelaskan posisi dan sikap saya.
Pertanyaan yang sederhana tetapi sangat dalam yang merepsentasikan pandangan anak-anak muda tentang mereka yang berbeda identitas keagamaan. Riset sederhana yang awalnya ingin mengekplorasi pandangan dan makna jihad bagi anak muda yang belajar di sebuah sekolah agama serta potensi kekerasan yang berasal dari sikap dan pandangan anak-anak muda.
Hal yang cukup menarik dari sesi interview kami yang awalnya saya hanya bertanya tentang tentang pandangan anak-anak tentang agama mereka, kewajiban dalam agama yang harus mereka perjuangkan baik sebagai pribadi maupun sebagai mahluk sosial.Â
Awal diskusi masih terkesan ada jarak dan semua pertanyaan masih dijawab secara normatif, tentang hal-hal yang sebaiknya dilakukan.Â
Walaupun dalam hati saya, pandangan-padangan ini masih perlu diuji apakah mereka akan menjaga toleransi  atau akan memakai cara-cara kekerasan untuk berjuang atas nama agama dan akidahnya.Â
Tetapi diujung wawancara kami, saya sepertinya menemukan pandangan-pandangan anak-anak muda ini yang sebenar-benarnya ketika mereka masih mempertanyakan Pancasila yang merupakan produk sekulerisme daripada upaya untuk memperjuangan suatu umat yang sesuai dengan pandangan agama tertentu.Â
Bagi mereka, sulit untuk menerima hasil dari Piagam Jakarta Tahun 1945 menjadi Pancasila dan UUD 1945 yang telah menghilangkan tujuh kata yang merepresentasikan golongan muslim.
Pandangan anak muda ini tentunya adalah hasil dari sejarah dan warisan konflik yang menurut saya tak berkesudahan hingga sekarang dalam perdebatan para founding fathers negara ini dengan wakil-wakil kelompok masyarakat selama 72 tahun terhitung sejak Indonesia merdeka. Berapa generasi sejak Ir. Soekarno, Moh Hatta, Agus Salim, Wachid Hasyim, Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusuma serta tokoh para pendiri negara bangsa ini.Â
Setidaknya telah hadir 4 generasi, tetapi warisan konflik ini ternyata belum selesai hingga sekarang, bahwa masih terdapat beberapa golongan yang sulit menerima Pancasila sebagai hasil konsensus diatas kemajemukan masyarakat Indonesia yang luar biasa.
Dalam karya Menchik (2016), Islam dan Demokrasi di Indonesia: Toleransi Tanpa Liberalisme, menjelaskan tentang bagaimana organisasi islam menjaga toleransi mereka terhadap kelompok beragama lain. Bahwa toleransi yang mereka lakukan adalah toleransi dengan syarat dan ketentuan berlaku, misalnya mereka membolehkan non muslim untuk menjabat pada posisi tertentu di pemerintahan dan mengajar di sekolah negeri tetapi sangat membatasi bagi non muslim untuk mengajar di pesantren maupun pembangunan gereja di lingkungan mereka.
Mirip dengan apa yang diungkap oleh Menchik bahwa toleransi siswa tersebut pun juga terbatas, pandangan mereka terhadap umat agama lain akan  surga sangat terbatas, surga dianggap hanya milik golongan agama tertentu. Termasuk warisan konflik penerimaan Pancasila  yang diwariskan dari generasi sebelum mereka bisa dari orang tua, kakek-nenek, guru mereka.Â