Mohon tunggu...
Sari Oktafiana
Sari Oktafiana Mohon Tunggu... Guru - A mother of five kids who loves learning

Living in the earth with reason, vision, and missions...but I can't make everybody happy.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ekspetasi

24 November 2010   19:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:20 1415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Expectation ( noun ):1. the act or the state of expecting: to wait in expectation. 2. the act or state of looking forward or anticipating. 3. an expectant mental attitude: a high pitch of expectation. 4. something expected; a thing looked forward to. ( taken fromĀ http://dictionary.reference.com ) [caption id="attachment_76944" align="aligncenter" width="300" caption="taken from http://www.ibm.com/developerworks/rational/library/may05/vaidya/fig3vaidya.jpg"][/caption] Sengaja saya memberi judul dengan ekspetasi, beberapa menit saya berada di perpustakaan membuka kamus besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka saya tidak menemukan definisi ekspetasi. Entahlah mungkin kata serapan dari Expetation dari bahasa inggris belum di-update di kamus besar Bahasa Indonesia. Padahal istilah ini sudah seringkali dipakai. Lalu saya membuka kamus-kamus Inggris mulai Longman, Webster, hingga Oxford untuk mencari definisi istilah ekspetasi. Saya catat dan lalu catatan itu tertinggal diatas meja kerja saya. Padahal kata "ekspetasi" hingga sampai sekarang terus berkecamuk di kepala saya, dan harus tuntas malam ini agar pikiran saya tentang ekspetasi selesai. Ekspetasi. Entahlah apakah ekspetasi sama dengan harapan ( hope ) saya sulit menemukan di berbagai macam kamus yang saya buka. Tetapi saya yakin ekspetasi merupakan idiom yang kurang lebih sama dengan harapan.Ā Ekspetasi: sesuatu apakah material maupun non material yang kita harapkan, inginkan. Sebagai bentuk konstruksi dunia ideal yang kita mau. Premis mayor saya, semua manusia memiliki ekspetisi. Sebagai salah alasan untuk mengada di dunia. Selain manusia punya tugas utama memberi rahmat terhadap alam. Tulisan ini terinspirasi dari pesan-pesan yang menjadi ekspetasi seseorang atas saya. Sebuah eksternal ekspetasi yang dipaksakan menjadi ekspetasi saya. Ā Saya memahami dan berusaha mengerti tentang "ekspetasi" yang diberikan pada saya, seperti Max Weber yang berusaha memahami dan menginterpretasi fenomena sosial dalam interaksi sosial dengan kata "verstehen".Ā Pada aksinya memang tidak mudah untuk melakukan "verstehen" dalam ekspetasi individu yang ditujukan pada kita. Semua ekspetasi memiliki latar belakang, time line historinya, motif, serta goal. Serta yang harus diingat dalam ekspetasi individu juga akan melakukan metode/cara untuk membuat ekspetasi menjadi hidup/kenyataan. Lalu apa yang akan terjadi bila itu hanya menjadi ekspetasi?? sakit-kah??benci-kah?? terjadi konflik-kah? Pilihan tersebut bisa iya dan tidak. Dan bahkan menjadi wilayah yang saling tarik-menarik alias tidak jelas antara iya dan tidak.Ā Akan menjadi sakit, konflik dan berbagai macam ekses disasosiatif bila level "verstehen" tidak terjadi. Antara domain, Subyek-subyek pelaku akan sibuk dengan ekspetasi-ekspetasinya bila tidak ada komunikasi yang baik. tafsir-tafsir kebencian akan terus mengerayangi.sebagai efek kekecewaan dan ketidakpuasan.Bahkan dari ekspetasi yang tak terjadi akan membesar menjadi gerakan sosial. Tedd Gur, dalam kajiannya tentang gerakan sosial di bukunya "Why men rebel"...secara psikologis sosial, gerakan sosial terjadi dari aspek simultan kondisi relative-deprivation, dimana terjadi ketidaksesuaian antara "value expectation" dan "value capabilities". Adapun yang dimaksud ā€œvalue expectationā€ adalah kondisi kehidupan yang memberi hak kepada masyarakat untuk mempunyai karsa memiliki. Sedangkan ā€œvalue capabilitiesā€ lebih merajuk pada pengertian sebuah penggambaran kondisi kemampuan masyarakat untuk meraih apa yang diharapkan. Akan menjadi tidak ada konflik. Bila kita mampu berdamai dengan ekspetasi bila itu memang berbenturan dengan value capabilities. Realistis itu bahasa mudahnya. Nrimo itu terminologi Jawa-nya. Dan itu semua berproses membutuhkan waktu, ruang kesadaran dan refleksi. Menjadi realistis dengan ekspetasi yang tidak terlaksana dalam pengalaman dan studi empiris saya membutuhkan tempaan yang berkali-kali. Sekali-dua kali kejadian akan sebuah ekspetasi yang tidak terlaksana belum cukup membuat seseorang "imune"/kebal dengan unexpected. Masih membutuhkan beberapa unexpected circumtances. Dan lalu wilayah refleksi, menarik ego dan mempertimbangkan kemaslahatan umat. dan berdamai...Yo wis ra popo...dimengerti wae..wis usaha mentok.Berdamai sebagai bentuk self healing.Ā Akan menjadi wilayah tarik-menarik bila garis wilayah ekspetasi satu sama lain tidak tegas, tidak ada komunikasi sehingga misunderstanding, misinterpretasi..akan tetap pada wilayah yang tegang walo gencatan.Ā Ya begitulah dengan ekspetasi. bagaimana kalo kita berusaha "verstehen" saja agar bisa menghargai perbedaan ekspetasi-ekspetasi. Agar bisa membuat hidup lebih indah dengan menghormati ekspetasi yang tidak terlaksana. Walo itu tidak mudah. Wallahu'alam Bishowab. Demi ekspetasi-ekspetasi yang telah mati dan telah kumaafkan dalam rangkaian kisah sejarah.Dan Biarlah. Surabaya, 24 November 2010. Sari Oktafiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun