Mohon tunggu...
Sarini
Sarini Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Islam Internasional Indonesia

Saya adalah lulusan pasca sarjana Ilmu Politik dengan konsentrasi Hubungan Internasional dari Universitas Islam Internasional Indonesia. Saya memiliki minat penelitian terkait kebijakan politik luar negeri, isu gender, dan resolusi konflik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menavigasi Ketegangan Laut China Selatan: Peran Strategis Indonesia dalam Menjaga Stabilitas Kawasan

25 Mei 2024   21:29 Diperbarui: 25 Mei 2024   21:30 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dibalik potensi ekonomi luar biasa dan jalur perdagangan strategis, Laut China Selatan tidak hanya memikat karena kekayaan sumber daya alamnya, tetapi juga menjadi panggung utama bagi persaingan geopolitik yang mengancam stabilitas regional bahkan global. Tarik ulur kepentingan membuat wilayah ini berubah menjadi arena sengketa teritorial yang rumit, ditambah ekspansi militer China memicu reaksi keras dari negara kekuatan besar seperti Amerika Serikat untuk memperkuat aliansi guna menyeimbangkan kekuatan. Akibatnya, keterlibatan banyak aktor ini menyebabkan persinggungan berbagai kepentingan strategis dan menambah kompleksitas ancaman bagi keamanan kawasan.

Di tengah kompleksitas Laut China Selatan ini, Indonesia berdiri di persimpangan ketegangan geopolitik kawasan. Meskipun tidak terlibat langsung dalam sengketa klaim, namun dampak konflik di Laut China Selatan tetap tidak dapat dihindari. Wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, seperti perairan Natuna Utara, rentan terhadap berbagai ancaman. Klaim China atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan kasus Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing di perairan Natuna Utara menambah ketegangan. 

Bahkan, insiden penangkapan kapal asing dan intimidasi dari patroli China dapat menciptakan potensi konflik yang bisa meretakkan hubungan bilateral. Posisi geografis Indonesia yang strategis membuat keamanan nasional sangat tergantung pada stabilitas kawasan ini. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengambil langkah proaktif dalam diplomasi dan strategi pertahanan untuk mengatasi dinamika geopolitik yang kompleks ini.

Sebagai kekuatan menengah dengan pengaruh signifikan di kawasan, Indonesia harus memainkan peran strategis dalam menavigasi ketegangan ini dan mendorong kerja sama regional yang efektif. Diplomasi yang cermat dan kebijakan luar negeri yang proaktif diperlukan untuk menghindari terjebaknya Indonesia dalam perebutan kekuasaan negara-negara besar dan konflik yang lebih luas. Indonesia harus mampu memanfaatkan posisinya untuk mempengaruhi geopolitik kawasan, mendukung stabilitas, dan melindungi kepentingan nasionalnya. Dengan memainkan peran yang lebih aktif dan strategis, Indonesia dapat berkontribusi pada terciptanya ekosistem kawasan yang lebih stabil dan damai.

Pendekatan Unilateralism Indonesia terhadap Konflik Laut China Selatan

Selama masa pemerintahan Joko Widodo, pendekatan Indonesia terhadap sengketa Laut China Selatan mengalami pergeseran. Pada era sebelumnya, kebijakan luar negeri Indonesia yang mengusung "thousand friends and zero enemy" cenderung menghindari konfrontasi langsung dan lebih mengedepankan diplomasi. Namun, pendekatan pemerintahan Jokowi menunjukkan ketegasan dan keberanian yang lebih besar dalam kebijakan unilateralnya untuk mempertahankan posisi Indonesia di Laut Natuna Utara sambil secara bersamaan mengadopsi pendekatan multilateral yang lebih komprehensif untuk menjaga stabilitas regional. Reorientasi kebijakan pemerintahan Jokowi terhadap "kedaulatan maritim" dan "poros maritim global" mendorong diadopsinya langkah-langkah yang bertujuan untuk memperkuat penegakan kedaulatan maritim Indonesia dan menyoroti kehadiran Indonesia di Laut Natuna Utara sebagai reaksi atas klaim teritorial China atas wilayah tersebut.

Indonesia beberapa kali mengirimkan nota protes kepada China dan menegaskan bahwa klaim China atas traditional fishing ground dan nine dash line tidak memiliki dasar hukum, sesuai dengan keputusan UNCLOS 2016. Pada tahun 2020, Indonesia juga mengirim dua nota diplomatik ke PBB untuk memperkuat posisi ini. Tidak hanya melalui diplomasi, Jokowi menunjukkan ketegasan melalui tindakan langsung. Kunjungan ke Laut Natuna Utara, mengadakan rapat kabinet langsung di atas kapal perang, merilis peta baru dengan penamaan ulang wilayah Perairan Natuna Utara di Laut China Selatan menjadi "Laut Natuna Utara," dan pengembangan infrastruktur serta masyarakat di wilayah tersebut adalah langkah-langkah strategis yang berani dan tegas untuk memperkuat klaim Indonesia. Dalam aspek pertahanan, pemerintah meningkatkan anggaran militer dan memprioritaskan modernisasi peralatan serta penguatan pangkalan di Laut Natuna Utara. Latihan militer intensif dan penempatan kapal perang serta jet tempur di wilayah tersebut menunjukkan komitmen pemerintah untuk mempertahankan integritas wilayah dan meningkatkan keamanan nasional.

Namun, meskipun tegas, Indonesia tetap menjaga kerjasama ekonomi yang baik dengan China.  Indonesia berusaha menyeimbangkan antara sikap tegas terhadap klaim sepihak China untuk mempertahankan kedaulatan dan memanfaatkan hubungan ekonomi yang menguntungkan. Kebijakan ini mencerminkan komitmen pemerintah terhadap kedaulatan tanpa merusak hubungan dengan China. Langkah-langkah yang diambil menegaskan posisi Indonesia sebagai negara yang kuat dan mandiri dalam menghadapi tantangan geopolitik di Laut China Selatan. Secara keseluruhan, pendekatan Jokowi terhadap Laut China Selatan menunjukkan kombinasi diplomasi yang komprehensif, ketegasan militer, dan pembangunan ekonomi, yang semuanya bertujuan untuk menjaga kedaulatan Indonesia dan stabilitas regional tanpa memicu konflik terbuka.

 Pendekatan Multilaterlism melalui Institusi Regional

Indonesia terus meneguhkan posisinya di kancah regional dan global melalui strategi diplomasi yang mengandalkan kerja sama multilateral. Langkah-langkah strategis diambil oleh Indonesia dengan memanfaatkan lembaga multilateral regional seperti ASEAN, East Asia Summit (EAS), dan Indian Ocean Rim Association (IORA) untuk mengikat kekuatan besar dan negara-negara regional ke dalam jaringan kerja sama regional yang erat, dan memperkuat kerjasama di berbagai bidang, termasuk ekonomi, sosial-budaya, keamanan, dan maritim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun