Sambil menarik nafas, aku tuliskan ini untukmu. entah ini penting atau tidak. entah kamu mengertinya, bahkan entah mengapa aku tiba-tiba ingin menulis tentangnya. padahal aku sudah terlalu lama menyimpannya hingga usang.
aku ini dulu anaknya terlalu manja padanya, ingin dibeli ini itu dan ingin ikut kakinya melangkah mencari nafkah ke mana saja tapi jadi terlalu memahami dia.
bertahun-tahun aku belajar menjadi baik, meski sering gagal aku dibuatnya. kadang aku berusaha menahan diri untuk tidak bersikap kasar pada dia yang kadang tidak bisa menghargai aku yg sudah bersikeras lupa.
orang tahunya aku ini bicaranya halus saja, tidak pernah keluar dari kata-kata tak pantas didengar, tapi terhadap Bapak aku bahkan pernah menangis berteriak menghardik, membenci, dan mencaci makinya dengan kata-kata dan wajah tak terkendali. sungguh aku pernah, setelah itu aku berulang kali menyesali mulutku yang tidak tahu diri ini. tapi di sisi lain aku ingin diriku mengerti, mulutku juga harus diberi kesempatan berteriak ketika ingin.
bagaimanapun, aku anak, dia orangtua, aku sudah diatur harus patuh kalo tidak dosa.
bertahun-tahun pula aku sendiri memperbaiki hati, yang ketika mulai tertutup lukanya dipukul lagi dan lagi. dulu sewaktu kecil semuanya tampak sempurna, apa yang tidak aku punya? dunia dongengku dulu tak butuh melihat kisah orang lain.
kamu tahu siapa yang menghancurkannya?
Raja dikerajaanku.
sewaktu belum harus dewasa aku sudah harus, tidak boleh menangis di depan Ibuku saat Bapak tak ada di rumah karena Ratunya murka, tidak ingin melihat wajahnya yang 'palsu' itu, kata Ibu dulu.
aku tidak bisa membenci apalagi abai, sedang dia menangis malam itu di hadapanku yang belum cukup dewasa tuk mencerna, apalagi mengusap air matanya dan Ibu.
"waktu yang akan menyembuhkan" itu benar. namun semakin terbiasa aku menghadapi keadaan itu, semakin tidak bisa aku ungkapkan maksudku pada Ibu, aku ingin semua melupakan masa lalu.