Entah apa yang ada di pikiran mereka. Kalau aku jadi mereka, tentu aku tak akan berpikir seperti itu atau membuat keputusan semacamnya. Maksudnya aku tak akan bertarung dengan ketidakpastian seperti itu. Apalagi jika itu berisiko tinggi dan akan mempengaruhi hidupku ke depannya.
Ini tentang seseorang yang aku kenal. Namanya Ferry, dia masih muda. Maksudku dia masih bujangan di usia dua puluh tiga. Belum memiliki istri yang bisa membuatnya tidak mengalami hal-hal semacam itu. Maksudku dia mengambil keputusan yang sungguh sangat berisiko dalam hidupnya.
Berbekal kemampuannya mencari informasi dengan menggunakan komputer jinjing dan jaringan internet Wi-fi kantor, dia menemukan seseorang yang terbentang jarak ribuan kilometer, harus melewati lautan luas untuk bisa menemukannya dan mereka membuat kesepakatan yang sangat serius. Bertemu di Stadion Gelora Bung Karno untuk melihat pertandingan yang mungkin hanya akan disaksikannya sekali seumur hidup. Kalian tahu, pertandingan timnas sepakbola Garuda melawan tim sepakbola nomor satu di dunia saat ini. Masalahnya, dia sama sekali tak mengenal orang itu.
Dia tak berhenti tersenyum ketika memesan tiket pesawat pulang pergi dari Pulau Belitung ke Jakarta. Untuk pekerjaan, dia mengajukan surat izin pada atasan kami dengan alasan penting keluarga. Dalam hati aku kasihan dan mulai mengkhawatirkan dirinya.
Aku membaca berita yang tak menyenangkan perihal penjualan tiket dari biro gelap di internet dan memohon agar hal-hal seperti itu tak terjadi padaku atau orang-orang di sekitarku. Karena semua itu seperti bertaruh. Mempertaruhkan sejumlah uang yang cukup untuk kebutuhan keluargaku selama satu pekan di sini.
Aku mengkhawatirkan dirinya karena kasihan. Ya, jika aku menjadi dia, mungkin aku lebih baik menyimpan uang sejumlah itu untuk membeli susu untuk anak-anak atau membelikan hadiah untuk istriku atau membawa anak-anakku bermain di taman bermain sepanjang hari. Mungkin aku juga akan menabung untuk biaya anak-anakku sekolah nantinya. Itu lebih baik.
Namun, pandangannya berbeda denganku. Dia sangat pemberani sehingga tak memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Bagaimana dia akan tidur di sana sedangkan tak ada teman, saudara atau keluarga? Oh, jangan lupa jika dia juga butuh makan untuk bertahan hidup setidaknya tujuh puluh dua jam di sana sebelum kembali ke sini, Pulau Belitung.
Bagaimana jika dia dengan orang yang memegang tiket bangku penonton itu kesulitan untuk bertemu? Sejumlah uang sudah ditransfer ke rekening orang itu dan dia sama sekali tidak khawatir bagaimana jika dia kehilangan hal itu. Bagaimana jika pada saat pertandingan orang tersebut tidak datang ke tempat dan dia sama sekali tidak memiliki akses untuk masuk ke bangku penonton?
Bagaimana dengan tiket pesawat pulang pergi yang dibelinya dengan harga yang cukup mahal jika dia batal menonton langsung pertandingan yang bisa saja sekali seumur hidupnya itu?
Jika seseorang memberiku selembar tiket untuk pertandingan itu, mungkin aku akan menjualnya ke orang-orang sepertinya. Karena saat ini aku belum tertarik untuk berada di kumpulan puluhan ribu orang di dalam bangku penonton lalu bersorak bersama ketika seseorang berhasil mencetak skor di gawang lawan. Setidaknya saat ini. Berbeda ceritanya jika aku bisa pergi bersama anak-anakku.