Terima kasih, senang bertemu denganmu, kataku ketika tanganmu meletakkan buku bersampul cokelat yang tertulis namaku di sana.
Kau memandang ke arah lain, sambil berusaha menyembunyikan tawa dari wajah merahmu. Kau lucu, aku yang saat itu tak tahu malu malah merapikan anak rambutmu. Tanpa peduli dering bel bersamaan langkah-langkah kaki berderap mendekat. Ramai, seperti otakku saat itu.
Waktu istirahat menjadi jembatan temu kita saat itu. Di tengah sunyi perpustakaan, membaca buku-buku sejarah. Menghitung gelombang suara sebelum penjaga perpustakaan meletakkan telunjuk di depan bibirnya, bersama tawa yang keluar dari bibir kita.
Dua ratus lima puluh sembilan detik berikutnya, kau membuatku bertanya-tanya. Tak ada coretan di buku bergaris milikku, juga jam istirahat kulalui bersama buku-buku tanpa suara. Tak ada kau di sudut-sudut kantin. Juga tempat parkir.
Sebelah sayapmu patah. Ketika langkah kakimu tak lagi terarah. Seharusnya kau punya aku, tempatmu mengadu selain pada Pemilik Segala Rasa.
Kita teman, tak ada salahnya berbagi tawa juga lara ketika hatimu tak baik saja. Kataku padamu lewat sebuah pesan singkat. Tak perlu risau, aku tak apa. Jawabmu tanpa jeda, mengakhiri segala tanya di kepala, mengikis percaya di antara kita.
Aku hanya ingin sendiri. Biarkan Coldplay dan waktu yang jadi penyembuhku, katamu. Aku  masih terlalu muda, tak mengerti jalan pikiranmu saat itu. Hari-hari berikutnya, kau kembali. Menampilkan senyum meski mata sendu di balik kacamata itu tak bisa mengelak.
Aku baik-baik saja saat ini. Melihatmu lagi, seperti menemukan cahaya yang menuntunku pulang. Sekali lagi, aku ingin melalui hari-hari denganmu seperti kemarin, katamu membungkam kalimatku dengan rasa manis yang selalu tersimpan dalam memori.
#MY, 220523
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H