Jika Dunia Tanpa Nama - Review Novel
Apa yang terjadi jika dunia ini tanpa nama? Kamu mungkin akan hidup sebagai 3554L jika terlahir sebagai laki-laki dan 3555P jika terlahir sebagai perempuan. Kemudian ketika memiliki anak, deretan angka dengan label inisial jenis kelamin (L atau P) menjadi sebuah kata yang mereka sebut 'nama' anakmu. Tentu saja, saya tidak pernah bisa membayangkan jika itu terjadi!
Identitas Novel
Judul      : Kamp 13
Penulis     : Ikhwanul Halim
Penerbit    : Pimedia
Tahun terbit: 2021
Harga      : -
Jumlah Halaman: viii + 120 halaman
Cerita dibuka dengan adegan makan malam sebuah keluarga. Tidak seperti makan malam yang kita rasakan saat ini, tentu saja. Makan malam di masa depan -tahun 2065- sangat jauh dari apa yang kita pikirkan sekarang. Mereka akan memberimu ransum diracik dengan nutrisi yang kamu tak ketahui manfaatnya untuk tubuhmu dan kamu dipaksa untuk menelannya melewati kerongkonganmu. Jangan tanya rasanya, mungkin lebih baik dari daging kelinci mentah sekalipun.
Tokoh utama dalam novel ini adalah 3556P, putri dari pasangan 3554L dengan istrinya 3555P. Makan malam keluarga 3556P sangat menyeramkan. Ketika dia tak tertarik sama sekali untuk memakan ransumnya, 3554L memaksanya untuk menghabiskan menu di piringnya. Karena jika tidak, seorang pengawas bersenjata akan menarik pelatuknya tepat di kepala 3556P tidak peduli dia gadis kecil atau bahkan nenek renta sekalipun.
Dunia tempat 3556P hidup sangat kacau. Undang-undang, peraturan hukum yang berlaku di sana mengatur semua hal, termasuk cara berpakaian dan informasi apa yang boleh diketahui. Semua orang harus tunduk atau mereka --pemerintah dan bawahannya-- akan memberi hukuman dengan menembakkan peluru tepat di kepala atau dada. Jika melanggar, maka mati adalah pilihan terbaiknya.
Dunia dimana pemerintah di sana adalah sekumpulan manusia kejam yang mengatur siapa akan menikahi siapa. Menikmati udara di luar rumah adalah pelanggaran. Laki-laki dikebiri dan semua orang diberikan makanan yang membuat otak mereka rusak dan bodoh sehingga selamanya akan terjebak dalam siklus kekacauan yang tidak pernah berakhir.
Ketika membaca lembar pertama dalam novel ini, pikiran saya seketika diajak berimajinasi. Berlatar di masa depan, ketika bumi menjadi berbeda dengan yang kita kenal sekarang. Ikhwanul Halim membawa imajinasi saya menuju tahun 2065 --45 tahun dari waktu buku ini diterbitkan -- bukan ketika saya me-review novel ini.
Membaca lembar demi lembar dalam novel ini membuat saya berpikir sekaligus takut. Takut kalau-kalau di masa depan peradaban manusia menjadi seperti di dalam novel ini. Karena sekarang, tahun 2023 --krisis energi, ekonomi dan sumber daya-- seperti yang ditulis di sana, sedang terjadi. Namun, seperti kata Ikhwanul Halim di novel ini, semoga itu hanya menjadi peringatan, bukan sejarah. Kita masih punya waktu untuk memperbaikinya mulai saat ini.
"Lebih baik ditakuti daripada dicintai. Il principe, Machiavelli."