Yang ringan-ringan saja sambil menunggu pembicaraan formal.
Barangkali masih terbayang di ingatan para orangtua. Sekitar setengah abad lalu, betapa syahdunya suasana temaram desa yang hening, damai, tiada hingar-bingar. Desaku yang penuh dengan hamparan sawah. Padi usai dituai, cangkul pun mulai diayun mempersiapkan lahan, benih pun ditabur. Tak tampak wajah bulan, memang gulita dipandang, satu gemerlap obor dari kejauhan yang ditingkah menari-nari, sesekali teriakan girang kanak-kanak disana-sini bermain ‘engklek’. Benar-benar pemandangan dan lantunan yang sekiranya dapat membuka mata hati pada keagunganMu.
Bahagianya mengingat suasana lampau itu, saat obor yang dimainkan mulai dari kanak-kanak, sepasang remaja, maupun dewasa yang saling berlomba mengusir gelap, atau untuk menemukan persembunyian belut. Ya, dengan beberapa kali ‘gejrosan’ kaki, memaksa keluar dari persembunyiannya, langsung diangkat secepatnya pindah ke ‘kepis’, tali pengikat ‘senthengan’ yang melilit pada pinggang pemburu belut profesional. Sawah berair jernih bagaikan kaca, tanahnya gembur, itulah saat tepat untuk ‘nyuluh’ (mencari belut). Saat dunia kanak-kanak saling berebut mencari buah dipohon, sawo masak yang berguguran dimalam hari digoyang berjatuhan. Senangnya mereka.
Obor, suluh yang terbuat dari bekas daun nyiur kering diikat kuat-kuat. Jikalau diperlukan maka dibakarlah ia, kemudian digoyang diayun kebelakang-kedepan, menghasilkan sumber cahaya terangi arah sebatas kaki berpijak dijalan setapak, tak lupa saat nyuluh, bermanfaat sekali. Kecuali obor yang berfungsi sebagai pertanda orang lewat, adalah ‘upet’ atau kata orang ‘damar mancung’ merujuk bahan dasar serta fungsinya. Damar artinya penerang dan mancung artinya kelopak bunga nyiur. Kelebihan upet adalah juga sebagai persediaan api sepanjang hari. Praktis, hemat tenaga dibanding menyalakan api dengan ‘thithikan’. Terlebih kaum perokok, tidak perlu korek api atau lari kedapur cari puntung api.
Sekitar tahun 40an, mulai mengenal teknologi. Lahirlah dinasti ‘oncor’. Seruas potong bambu berisi ‘lium’ (petrolium), yaitu minyak tanah yang saat itu populer dengan sebutan ‘lenga mambu’ karena baunya memang khas mewangi. Disumbatlah seruas potong bambu itu dengan kain ‘gombal’, dibalik sesaat, kemudian di bakar menjadi kawan perjalanan. Malam itu karena lampu-lampu penerang ‘teplok’ ataupun ‘senthir’ hanya ada didalam rumah yang jaraknya satu sama lain bisa mencapai ½ km atau tak jarang lebih.
Namun tahun terus berganti. Menjelang pecahnya perang dunia ke-II, penerangan modern pun mulai dikenal orang pedesaan. Jalanan yang mulanya temaram pun sudah terang-benderang karena sorot lampu ‘strong king’ yang digantung dipinggir jalan, kira-kira berjarak 300-400m, menyulap kota jadi berkelap-kelip.
Roda waktu terus berputar. Sepeda milik penduduk, hanya ada satu atau dua dijalan, mulai pula dipasangi ‘ting’ (bel), baik yang berbaterai maupun yang berminyak tanah. Ya! itu sebelum datangnya raja lampu, ‘berko’. Polisi patroli bersepeda ‘untho’ bukan sepeda ‘jengki’, berdua tidak sendiri, lengkap dengan sepatu panjang topi tinggi bukan peci, lengkap dengan senjata ‘bindhi’ kerap kali keliling desa. Petugas lain naik kuda, besar tinggi keliling desa, menakutkan anak-anak maupun bayi-bayi.
Kembali ke obor. Lambat tetapi mantap untuk ditinggalkan. Digantikan alat modern berbahan logam, berbaterai dua atau tiga, bahkan ada yang lima buah, meyakinkan dan sekaligus mengangkat martabat pembawanya. Sekali pencet byar! teranglah seisi dunia. Pencet lagi pet! gelap kembali merajai dunia. Itulah peralatan modern cipta karya manusia, praktis, meminimalisir resiko kebakaran, mudah dibawa kemana suka. Namun dikala itu tak semua orang mampu membelinya.
Tak punya tidaklah berarti rendah, semangat dan jiwa saling bersaudara dalam ikatan M.O.U. (mutual of understanding) yang kuat, meski tidak tertulis “milik bersama, komunal bezit, duwekku ya duwekmu duwekmu ya duwekku” yang menjadikan pinjam-meminjam antar saudara, antar tetangga adalah hal yang sangat lumrah (wajar). Bagi yang tidak mau meminjamkan miliknya adalah ia dicap wong ora lumrah (tidak wajar). Demikianlah senter, baik bagi sang pemilik maupun peminjam. Si senter pun kadang bernasib sial, senasib dengan cangkul, tangga, bahkan pompa sepeda, atau barangkali blangkon. Sekali dipinjamkan lupa kembali kepemiliknya. Tapi itulah budaya, yang seharusnya diterima dengan legawa tanpa hakekat tanda.
Perang dunia ke-II usai, hubungan antar bangsa semakin mengglobal. Triji pun maju pesat. Kini khususnya di dunia senter-menyenter pun mengalami kemajuan pesat. Dari selongsong bahan logam berat sampai ditemukannya senter berbahan plastik. Ukuranpun beraneka ragam, ada yang besar, ada yang kecil, bahkan mini. Ukuran dan bentuk tidaklah mengurangi mutu pancarnya. Bahkan ada yang menggunakan tulang hewan kering sekalipun.
Sekitar tahun 2000an. Orang sudah mulai jenuh dengan senter berbaterai kering, diciptakanlah senter ber’accu’ ukuran mini. Ya, memang harga relatif mahal, namun apa artinya mahal jikalau barangnya lebih praktis, tak perlu beli baterai lagi apabila yang lama sudah ‘ogah’ bekerja. Tinggal ‘cep’ masukkan ke ‘colokan’ listrik, ‘charging’ pun mulai. Beberapa jam kemudian siap beroperasi lagi, bahkan ada yang lebih maju lagi, yakni dengan baterai jam. Sayang kualitasnya hingga kini masih belum memuaskan. Bagaimana dengan tahun 2017 nanti? Mari kita jalani bersama.