Sekitar dua bulan yang lalu saat perjalanan dari Stasiun Jakarta Kota menuju Blok M menggunakan Transjakarta. Ketika bus berhenti di halte Monas dan keadaan agak sepi, saya iseng dan berhasil mengambil foto yang menurut saya suatu saat layak untuk dijadikan bahan diskusi (hehe) yaitu himbauan di ruang khusus wanita. Saya miris melihat penumpang transjakarta yang jelas- jelas terpampang stiker bertuliskan “ ruang khusus wanita”, tetapi sepanjang pengamatan saya masih ada saja penumpang pria yang masuk ke area tersebut. Hal tersebut terjadi ketika bus dalam keadaan penuh, dan petugas yang melihat hal tersebut terlihat fine- fine saja. Padahal fungsi utama dari penambahan ruangan khusus wanita ini adalah untuk menghindari aksi pelecehan seksual. Begitu istimewanya kedudukan seorang wanita, sehingga di berbagai fasilitas transportasi publik seperti gerbong kereta api commuter line (KRL) dan Transjakarta dibuatkan ruangan khusus untuknya.
Di tengah gembar- gembor persamaan gender yang sudah lama diperjuangkan oleh R.A Kartini melalui gerakan emansipasi wanitanya, beberapa tahun belakangan ini mulai menunjukkan hasil, adanya ruangan khusus wanita seperti sebuah kemunduran. Wanita yang berusaha keras supaya kedudukannya setara dengan pria harus tabah menerima kenyataan bahwa mereka perlu “perhatian khusus”.
Namun pada kenyataannya, saat ini banyak bermunculan fenomena yang sering disebut cabe- cabean dan terong- terongan. Mereka (antara cewek dan cowok) seperti tidak ada batasan lagi, bahkan kerap kali memperlihatkan eksistensinya di area publik tanpa rasa malu istilahnya woles ajalah, hidup- hidup gue !
Nah, melihat fenomena- fenomena tersebut, masih pantaskah “area khusus wanita” diadakan diberbagai fasilitas publik? Masih dan haruskah ”wanita jadi yang utama”?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H