Tak hanya menyita perhatian pihak-pihak industri telco di Indonesia, kasus Indosat-IM2 juga ikut mengundang opini ahli hukum administrasi dan korporasi dari Universitas Tarumanegara, Dr. Gunawan Widjaja. Dalam artikel kontan.co.id, opini beliau sangatlah gamblang dalam menyatakan jika IM2 sebenarnya tidak mesti membayar uang pengganti sebesar Rp 1,3 triliun. Itu artinya, Kejaksaan Agung selaku eksekutor belum berhak untuk meminta Rp 1,3 triliun tersebut dari IM2, atau yang paling parah adalah dengan menyita aset-aset yang dimiliki oleh perusahaan ISP tersebut.
Menilik sedikit ke belakang, sebenanrnya Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan putusan kasasi tertanggal 10 Juli 2014. Putusan kasasi dengan Nomor 282K/PID.SUS/2014 ini mendasarkan pada hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Isinya pun menyatakan jika Indar Atmanto (mantan Dirut IM2) dijatuhi hukuman pidana selama 8 tahun dan denda uang sebesar Rp 300 juta.
Tak hanya itu, IM2 pun diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 1,358 triliun. Dalam kelanjutannya, ternyata turun lagi putusan kasasi pada Nomor 263K/TUN/2014, tertanggal 21 Juli 2014. Isi putusan ini adalah menolak kasasi sebelumnya. Artinya, hasil audit BPKP tadi tidak bisa dijadikan bukti untuk mewajibkan IM2 membayar Rp 1,3 triliun tersebut.
Perubahan putusan kasasi tersebut harusnya diperhatikan oleh pihak Kejaksaan Agung, karena ini berpengaruh terhadap eksekusi yang akan dijalankan Kejagung nanti. Lagi pula sesuai dengan hukum yang berlaku, seharusnya Kejagung menjalankan putusan kasasi yang terbaru, yaitu Nomor 263K/TUN/2014, dimana IM2 tidak harus membayar uang pengganti kepada negara.
Terlepas dari implementasi dari setiap putusan yang ada, para aparat hukum sepertinya juga memang harus paham terlebih dahulu terkait kasus yang dihadapi. Jangan sampai memberikan keputusan yang salah, yang justru merugikan semua pihak. Sangat krusial, karena ini tentunya turut mempengaruhi industri telco Indonesia. Kasus Indosat-IM2 ini bisa menjadi gambaran bagi kita, bahwa ketidakadilan hukum di negeri ini masih saja berlangsung. Semoga presiden kita yang baru benar-benar bisa memimpin perubahan dalam birokrasi hukum kita ke arah yang lebih baik, dimulai dari penyelesaian kasus ini.
Semoga saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H