Kupu-kupu merupakan simbol anak autistik. Mereka digambarkan cantik tetapi rapuh, seperti kupu-kupu. Karena kerapuhannya itulah kita harus menanganinya dengan sangat hati-hati. Supaya sayapnya tidak rusak, supaya potensi-potensinya tidak robek. Tetap mengembang dengan cantik, membawa mereka terbang, menunaikan tugas sesuai dengan fitrahnya.
Tulisan ini merupakan catatan yang saya ikuti dalam grup Diskusi Autisme KGB Surakarta di Telegram pada 14 Maret 2020, yang dipandu oleh Kak Nur Dani Rumanti (Kak Dani) selaku moderator, dan Ibu Siwi Parwati A. Basri (Ibu Siwi) selaku narasumber.
"Pernah tahu ada anak autis yang berhubungan badan dengan ibunya? Ada yang memperk0s4 anak gadis tetangga? Ada yang kecanduan 0nani dibantu tangan ibunya? Ada yang memukuli orangtuanya setiap malam karena minta k4win? ada yang 0nani di mall dan dimana saja setiap melihat perempuan seksi? Ada yang 0nani di mobil kemana saja dia pergi sampai mobilnya bau sperm4? Masih kurang vulgar bagaimana saya menyampaikannya?" Demikianlah opening Bu Siwi untuk memantik diskusi kami malam itu.
Ibu Siwi merupakan seorang praktisi autisme dan shadow teacher. Melalui buku "Panduan Autisme Terlengkap" Karya Theo Peters, beliau membimbing anaknya, Rama Dani Syafriyar, penyandang autisme.
Rama kini telah lulus dari SMA PL Don Bosco Semarang dan tengah menyiapkan studi lanjutnya di Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) jurusan Desain Komunikasi Visual.
Prestasi yang diraihnya antara lain memenangkan kejuaraan spelling bee tingkat Semarang, masuk 5 besar lomba pidato, masuk 10 besar lomba story telling tingkat kabupaten, menguasai program-program komputer secara otodidak, dan memiliki minat besar di bidang astronomi.
Sebagai penyandang autis, Rama tidak bisa berbahasa Indonesia, tetapi dia paham dengan lawan bicaranya yang menggunakan bahasa Indonesia.
Rama mengalami masalah gangguan konsep bahasa. Sejak pertama kali mampu berbicara, ia hanya bisa berbahasa Inggris.
Rama juga memiliki kesenangan menggambar mobil secara detail dan menyukai dunia fotografi.