Agama leluhur adalah istilah yang digunakan merujuk kepada praktik-praktik keagamaan lokal yang sering diklaim sebagai praktik animis, magis, adat, budaya, dan seterusnya.
Di antara contohnya adalah semedi, sesajen, kunjungan (ritual) ke gunung, hutan, sungai, dan lain-lain, bersih desa, dan seterusnya. Penganut agama leluhur lebih memaknai praktik keagamaan mereka sebagai adat atau budaya masyarakat, daripada sebuah agama. Sehingga mereka berkeyakinan untuk melestarikannya.
Namun, praktik keagamaan yang mereka lakukan kerap ditentang bahkan dianggap sesat dan syirik (menyekutukan Allah) oleh sebagian penganut agama lain. Karena di Indonesia sendiri agama yang dianggap resmi oleh negara hanya ada 6, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Mau tidak mau, para penganut agama leluhur mengaku beragama salah satu dari 6 agama tersebut, namun tidak menjalankan kewajiban yang ditetapkan.
Seperti contoh masyarakat di desa saya, termasuk nenek saya. Ketika akan mengadakan syukuran seperti kelahiran bayi, atau menjelang puasa dan lebaran, juga di bulan-bulan tertentu, masyarakat desa saya mengadakan kondangan, yaitu mengundang orang untuk makan bersama yang disediakan di atas tampah, dan para pengondang duduk melingkari tampah tersebut, lalu dibacakan doa-doa keselamatan oleh seorang yang dianggap paling tua di desa (sesepuh).
Dalam kegiatan kondangan ini, nenek saya biasanya menyediakan makanan yang tidak boleh disentuh oleh siapapun di atas meja kosong yang ditujukan untuk para leluhur.
Ayah saya sangat menentang kegiatan yang dilakukan masyarakat desa saya, termasuk nenek saya tersebut. Selama saya sekolah pun, kegiatan semacam itu dianggap bertentangan dengan ajaran Islam sehingga yang mengadakannya dianggap syirik dan dianggap ibadahnya tidak diterima oleh Allah.
Saya pun dulu suka menggoda nenek saya, "Nek, agamamu apa?". Lalu nenek saya akan menjawab, "agamanya sama dengan orang-orang."
Tapi mulai hari ini pola pikir saya berubah. Dibalik kegiatan yang dilakukan oleh nenek saya dan masyarakat desa saya, mungkin bagi mereka memiliki makna tersendiri yang tidak kita pahami karena kita tidak merasakannya.
Saya pun mulai menyadari, kegiatan semacam itu akhir-akhir ini pun tak seramai dahulu, banyak para sesepuh yang sudah meninggal sehingga ada anak-cucu yang tidak melestarikannya. Bahkan ibu saya pun pernah mengatakan, "jika nenekmu sudah meninggal, kita tidak usah melakukan kegiatan semacam itu."
Ya, zaman semakin maju dan modern, tradisi masyarakat pun pada akhirnya akan luntur, dan hilang, tinggal kenangan.
Hari ini saya melihat film dokumenter berjudul "Atas Nama Percaya". Film berdurasi 36 menit ini adalah film pertama dari seri "Indonesian Pluralitas", kolaborasi antara Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, WatchdoC Documentary, dan Pardee School of Globe Studies, Boston University; dengan dukungan dari the Henry Luce Foundation.Â
Tujuan dari film ini adalah untuk memberikan edukasi dan memperkaya wawasan keilmuan terutama tentang budaya, serta untuk membuka forum diskusi yang lebih luas. Film ini telah diputar di beberapa komunitas, institusi, lembaga, dan sekolah-sekolah.
Film "Atas Nama Percaya" menceritakan perjalanan panjang kelompok penghayat kepercayaan atau penganut agama leluhur untuk bertahan dan mendapat pengakuan dari negara dan penerimaan dari masyarakat.Â
Film ini fokus pada dua komunitas: agama leluhur Marapu dari Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur dan aliran kebatinan perjalanan di Jawa Barat.
Agama Leluhur Marapu, Sumba, NTT dan Aliran Kebatinan Perjalanan di Jawa Barat
Salah satu kebiasaan yang dilakukan warga Marapu adalah berkumpul untuk memecahkan masalah. Seperti contoh ketika ada tamu yang ingin melakukan pengambilan gambar di area Uma Kalada, mereka melakukan ritual potong ayam dengan tujuan mendapatkan petunjuk Marapu terkait permohonan ijin pengambilan gambar di area Uma Kalada atau rumah besar yang keramat.Â
Lewat usus ayam yang disembelih, kehendak Marapu dibaca dan dipahami. Petunjuk Marapu disampaikan oleh rato (ketua suku) bahwa kamera tidak boleh masuk di area Uma Kalada, hanya gambar dari kejauhan yang boleh diambil.
Kebatinan memiliki kepercayaan inti tentang Ketuhanan Yang Maha Esa dan menekankan kehidupan manusia sebagai perjalanan menuju Tuhan. Ritual mereka adalah praktik keseharian yang dilandasi dengan kesadaran pada perjalanan menuju Tuhan.
Sejarah Kelam Aliran Kebatinan Perjalanan
Sekalipun Marapu dan Aliran Kebatinan perjalanan menyebut kepercayaan mereka sebagai agama leluhur, tetapi pemerintah Indonesia tak mengakuinya. Di Indonesia hanya ada 6 agama yang diakui, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu. Marapu dan aliran kebatinan perjalanan, juga agama leluhur lainnya, di stigma primitif, animis, sesat, dan berbagai istilah negatif lainnya. Akibatnya dari waktu ke waktu, penganut agama leluhur mengalami tekanan dan diskriminasi, baik oleh negara maupun oleh pemeluk agama yang diakui negara.
Contoh kasus  diceritakan oleh Timih Hima Yanti, penganut Aliran Kebatinan Perjalanan, suaminya pernah di todong pistol dan kakinya diinjak menggunakan kaki meja  karena dituduh antek PKI, karena tidak memiliki agama.Â
Diketahui bahwa pada rezim demokrasi terpimpin, PKI berkembang sehingga mampu menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia pada waktu itu. Ia berhasil menginfiltrasi rakyat melalui kesenian, dan berbagai pertunjukan-pertunjukan seperti wayang, ketoprak, ludruk, reog, dan lain-lain. Banyak dari kesenian dan pertunjukan tersebut diklaim berafiliasi dengan Lekra, underbow PKI.
Setelah peristiwa penculikan 6 jenderal TNI pada 30 September 1965, kelompok militer menjadi satu-satunya kekuatan tak tertandingi dalam politik Indonesia. Jenderal Soeharto menduduki puncak struktur kekuasaan pemerintah Indonesia selama rezim Orde Baru.Â
Tahun 1966, terjadi pembersihan kelompok-kelompok yang sebelumnya diinfiltrasi oleh PKI mulai dilakukan oleh penguasa/militer, dengan dukungan kelompok Islam. Kelompok Kebatinan ikut dicurigai dan dituduh terkait dengan PKI. Karena kecurigaan dan tekanan pemerintah serta antipati kelompok Islam, banyak Kelompok Kebatinan tidak berani melaksanakan ritual-ritual secara terbuka.
Dalam suasana yang penuh ketegangan, sebagian besar Kelompok Kebatinan berafiliasi ke salah satu dari enam agama yang diakui negara sebagai strategi untuk menghindarkan diri dari tuduhan belum beragama yang diklaim sama dengan komunis. Kecurigaan dan tuduhan terhadap Kelompok Kebatinan sebagai komunis dan tekanan kepada mereka untuk menunjukkan dirinya benar-benar muslim, justru menjadi bumerang bagi Kelompok Islam. Mereka yang tadinya mengidentifikasi diri sebagai Muslim akhirnya memilih agama Kristen, Katolik, atau Hindu.
Setelah Soeharto menjabat presiden dan membentuk Partai Golongan Karya (Golkar), untuk mendapatkan simpati, Golkar menghidupkan kembali organisasi-organisasi kebatinan. Pada tahun 1960an, kelompok Kebatinan menerima dukungan dari elit-elit politik dan militer yang memiliki latar belakang kejawen. Lambat laun, pemimpin-pemimpin Kelompok Kebatinan diminta bergabung ke Golkar.
Problematika Agama Leluhur Marapu dan Aliran Kebatinan Perjalanan Saat Ini
Menurut film dokumenter "Atas Nama Percaya", terdapat tiga problematika yang dihadapi Marapu dan Aliran Kebatinan Perjalanan saat ini.
Kedua, stigma masyarakat dan pemerintah. Penganut agama leluhur dan aliran kebatinan mengalami stigma sejarah yang panjang dan pasang surut pengakuan dari negara. Sejak berdirinya Departemen Agama pada 1946, Depag menetapkan hanya tiga agama yang dilayani, yaitu Islam, Kristen, dan Katolik. Kemudian akhir 1950an Hindu dan Budha diakui dan dilayani, meskipun perkembangannya jauh lebih dulu daripada Islam, Kristen, dan Katolik. Tahun 1965 Konghucu juga dilayani sebagai agama. Sedangkan Aliran Kebatinan yang juga menuntut pengakuan dan pelayanan dari departemen agama, ditolak. Bahkan dituduh sebagai kelompok sesat dan mengganggu ketertiban umum. Seperti yang dialami Cakra Anggara dimana ketika SD-SMP ia dianggap sesat oleh teman-temannya karena menganut Aliran Kebatinan.
Ketiga, pendidikan agama leluhur dan aliran kebatinan belum ada di sekolah. Bagi penganut aliran Marapu orang tua serta masyarakatnyalah yang mengajarkan tentang agama leluhur Marapu. Para orang tua berusaha mempertahankan agama Marapu. Tiap-tiap keluarga diharuskan adanya pewaris agama Marapu. Seperti yang dialami Nono Bani, rato (kepala suku) Merapu dimana ia memiliki 9 anak, anaknya yang 7 sudah dibabtis, dan yang 2 belum. Maka ia berharap anaknya yang nomor 9 lah yang akan mewarisi Merapu.
Sedangkan untuk Aliran Kebatinan mereka belajar dengan penyuluh penghayat. Materi yang diajarkan yaitu tentang sejarah, budi pekerti, dan spiritual yang dilaksanakan setiap hari Sabtu dan Minggu pukul 18.00-20.00.
***
Demikianlah deskripsi terkait film dokumenter "Atas Nama Percaya", tentang agama leluhur Merapu dan Aliran Kebatinan Perjalanan. Saya kira film ini sangat direkomendasikan untuk ditonton seluruh lapisan masyarakat baik dari tingkat santri, akademisi, hingga pemerintah, untuk mulai berpihak pada hak asasi manusia, keberagaman, menjunjung budaya, dan belajar dari sejarah, demi terwujudnya demokrasi yang inklusif di Indonesia.
Sumber bacaan:
 Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia
Lebih Dekat dengan Penghayat Kepercayaan: Ulasan dan Refleksi Film "Atas Nama Percaya"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H