Pulanglah, anak-anakku! untuk pertama dan sekaligus untuk terakhir kalinya, kakak kalian membutuhkan kalian.
Demikianlah sms mamak kepada keempat anaknya, Dalimunte, Wibisana, Ikanuri, dan Yashinta. Kalimat "untuk pertama dan sekaligus untuk terakhir kalinya, kakak kalian membutuhkan kalian" itulah yang membuat saya tertarik untuk membahas Film Bidadari-Bidadari Surga.Â
Meski ini hanya cerita fiksi dari sebuah novel Tere Liye, namun saya terkesima dengan ucapan seorang ibu kepada anak-anaknya, dimana iya menegaskan bahwa anak sulungnya tidak pernah membutuhkan siapapun termasuk keluarganya, kecuali hari itu, hari detik-detik terakhirnya, hari menjelang kematiannya.
Film ini dirilis pada tahun 2012, dan disinetronkan kembali di SCTV pada 7 Oktober 2013-29 Desember 2013 dengan perbedaan tokoh pemain. Novel dari film ini yang sebelumnya berjudul "Bidadari-Bidadari Surga" pun telah dicetak ulang dengan judul berbeda yaitu "Dia adalah Kakakku". Saya pribadi lebih tertarik untuk membicarakan filmnya dibanding sinetronnya.Â
Film Bidadari-Bidadari Surga disutradarai oleh Sony Gaokasak dengan pemain Nirina Zubir sebagai Laisa, Nino Fernandez sebagai  Dalimunte, Henidar Amroe sebagai mamak Lainuri, Frans Nicholas sebagai Wibisana, Adam Zidni sebagai Ikanuri, dan Nadine Chandrawinata sebagai Yashinta.
Laisa, dia jauh dari kata cantik, fisiknya digambarkan berkulit hitam, berambut kriting, berbadan agak gemuk, dan pendek. Berbeda dengan keempat adiknya yang tampan dan cantik. Laisa bukanlah anak kandung mamak Lainuri.Â
Di dalam novelnya diceritakan, mamak Lainuri menikah dengan seorang lelaki yang membawa bayi (duda), setelah menikah ia meninggalkan bayi itu (Laisa) dan mamak Lainuri. Lalu mamak Lainuri menikah lagi, dan melahirkan empat orang anak yang tampan dan cantik. Inilah yang menyebabkan Laisa berbeda secara fisik dari adik-adiknya.Â
Meski demikian, Laisa berhasil menumbuhkan cinta dan penerimaan yang tulus dari adik-adiknya, dari mamak, dan dari masyarakat Lembah Lahambay -tempat mereka tinggal-, kepada dirinya.
Kehidupan dan sosok seorang Laisa, digambarkan Tere Liye melalui epilog dalam bukunya,Â
berbahagialah kepada wanita yang usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah, mungkin karena keterbatasan fisik, seperti sosok Laisa, sehingga tidak mendapatkan kesempatan untuk menikah, atau sehingga tidak terpilih di dunia yang amat keterlaluan mencintai materi dan tampilan wajah. Yakinlah, wanita-wanita salehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik, dan bersyukur, kelak di akhirat sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga.