Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Merdeka Belajar, Bagaimana Jika Sistem Pendidikan Diubah?

11 Januari 2020   03:11 Diperbarui: 11 Januari 2020   16:07 1346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi siswa berbakat memasak (www.karangturi.sch.id)

Jika kita berbicara tentang sistem pendidikan, itu berarti kita berbicara tentang seperangkat komponen yang ada di dalam pendidikan, seperti tujuan pembelajaran, metode pembelajaran, materi pembelajaran, evaluasi pembelajaran, dan pendidik. Merdeka belajar berarti siswa merdeka dalam mencapai tujuan pembelajaran. 

Merdeka belajar berarti metode pembelajaran yang diterapkan mampu memerdekakan siswa. Materi pembelajaran juga seharusnya materi yang berpengaruh dalam kehidupan siswa sebagai pribadi yang merdeka. 

Evaluasi yang diterapkan pun seharusnya evaluasi yang tidak membebani siswa. Dan pendidik pun seharusnya pendidik yang bisa mewujudkan kemerdekaan dalam belajar.

Tujuan pendidikan pernah saya tulis di laman kompasiana dengan judul "UN Dihapus, Apa Sebenarnya Tujuan Pendidikan Negara Kita" beserta latar belakang bagaimana tujuan pendidikan itu saya rumuskan. 

Tujuan pendidikan yang saya rumuskan adalah menemukan bakat peserta didik lalu menjadi alat bagi peserta didik untuk mengembangkan bakatnya, bahkan mampu menemukan bakatnya yang baru lagi, dan mengembangkannya lagi. 

Hal yang melatarbelakangi saya merumuskan tujuan pendidikan ini adalah keresahan saya melihat potensi-potensi siswa di masyarakat yang tidak terasah karena tidak adanya dukungan dari sekolah.

Sebenarnya tujuan pendidikan yang saya rumuskan ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 pasal 3).

Tapi pertanyaannya adalah sudahkah metode pembelajaran, materi pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran mengarah pada tujuan pendidikan untuk mengembangkan potensi peserta didik? 

PISA (Program for International Student Assessment) menunjukkan pada tahun 2018 pendidikan Indonesia dalam hal membaca mendapat score 371, matematika 379, dan ilmu pengetahuan 396. Dalam hal ini, menurut saya sistem pendidikan belum mampu mengembangkan potensi peserta didik.

Pendidik adalah sosok yang dianggap bertanggung jawab terhadap potensi peserta didik. Ia memiliki kewajiban untuk mencari, menemukan, lalu mengembangkan potensi-potensi peserta didik agar potensinya tersalurkan di wadah yang tepat jika ia memasuki dunia kerja kelak. Tapi apakah pendidik kita sudah melaksanakan kewajiban itu?

Saya akan menjawab melalui pengalaman yang saya dapatkan dari seorang teman yang bekerja sebagai pengajar atau fasilitator di salah satu pondok di daerah Surakarta (tempat saya kuliah), yaitu Pondok Baitul A***m. 

Teman saya berkonsultasi pada saya tentang judul tesisnya. Ia mengatakan ingin meneliti Pondok Baitul A***m, tetapi bingung isu apa yang akan diangkat. 

Lalu saya menyarankan untuk mengambil isu tentang sistem pendidikan di Baitul A***m seperti metode pembelajaran, materi pembelajaran, dan evaluasi pembelajarannya yang tidak berpengaruh banyak terhadap mahasiswa. 

Menurut saya tidak ada perbedaan apa-apa terhadap mahasiswa setelah mereka melaksakan mondok di Baitul A***m selama 4 hari itu. 

Di tempat itu siswa mempelajari fiqih, akhlak dan akidah selama 4 hari. Di samping itu juga terdapat curriculum hidden yaitu tepat waktu melaksanakan salat lima waktu dan salat tahajjud setiap malam selama 4 hari. 

Sistem pembelajaran yang diterapkan untuk mempelajari fiqih, akhlak, dan akidah yaitu fasilitator membuat gambar roadmap dan menjelaskan sebentar. Lalu bagi mahasiswa diminta aktif bertanya tentang materi itu. 

Bagi yang bertanya akan mendapatkan nilai A. Evaluasi yang diterapkan dilakukan di akhir kegiatan mondok tersebut. Yaitu siswa mengerjakan soal berupa uraian.

Apa pengaruhnya terhadap mahasiswa untuk ke depannya setelah 4 hari mondok itu? 

Bagi saya tidak ada. Mahasiswa akan lupa dengan materi yang dipelajari dan ia pun kembali ke kebiasaannya semula, yang sudah terbiasa salat tepat waktu dan salat tahajjud, tetap akan melaksanakan salat. Tapi bagi yang tidak bisa, mungkin kadang salat kadang tidak. Jadi tidak berpengaruh besar bagi mahasiswa tersebut, kecuali mendapatkan nilai.

Saya menyarankan kepada teman saya untuk melakukan riset terkait hal itu untuk tesis dia, bahwa tenyata mondok di Baitul A***m selama 4 hari itu tidak ada pengaruhnya bagi mahasiswa. 

Jadi lebih baik sistem pembelajaran yang seperti itu diganti, baik dari materinya, metodenya, maupun evaluasinya. Bisa diganti dengan hafalan ayat-ayat al Qur'an (tahfidz) atau perbaikan bacaan al Qur'an (tahsin) yang tidak hanya berhenti setelah mereka selesai mondok selama 4 hari, tapi bisa dirutinkan melalui kegiatan mentoring yang memang sudah terlaksana di hari Sabtu dari pukul 07.00-08.40.

Tapi apa jawaban teman saya itu? "Benar juga sih. Tapi gak berani saya, nanti malah menghancurkan diri saya sendiri di demo sama direktur pondok. Apalagi fasilitatornya juga banyak yang tidak punya hafalan al Qur'an dan tahsinnya juga masih buruk."

Jawab saya, "Lalu buat apa ada pondok kalau pembelajarannya tidak bermanfaat sama sekali. Buat apa ada fasilitator, digaji pula, kalau tidak mau diajak belajar bersama dan berbenah menjadi lebih baik, buat apa ada direktur kalau tidak mau diajak memperbaiki pondok? Kalau tidak ada perubahan apa-apa hasilnya sampai kiamat ya gini-gini saja. Padahal para mahasiswa itu nantinya akan jadi guru. Bagaimana mereka bisa jadi guru yang mau diajak belajar dan berubah lebih baik kalau tempatnya belajar sekarang saja seperti ini?"

Ya, guru takut diajak berbuat perubahan, dan mereka lebih suka meniru pendahulu-pendahulunya. Bagaimana siswa bisa merdeka dalam belajar jika para gurunya masih menggunakan sistem klasik dari TK hingga Perguruan Tinggi? Perhatikan gambar di bawah ini.

Di gambar tersebut ditunjukkan perbandingan sistem pendidikan di Eropa dan di Indonesia. Finlandia sebagai bagian dari benua Eropa dikenal sebagai negara yang berhasil dalam sistem pendidikan. 

Dilihat dalam peringkat PISA, Finlandia memiliki score dalam hal membaca yaitu 520, Matematika 507, ilmu pengetahuan 522.

Dikutip dari shalaaz.com kesuksesan yang diperoleh Finlandia dalam pendidikan karena negara tersebut mengutamakan konsep mengembangkan potensi diri, tidak melulu tentang teori ilmu pengetahuan. 

Mereka lebih dilatih untuk mengembangkan penelitian untuk melakukan suatu penemuan. Pembelajaran yang dilakukan berfokus pada tiga kompetensi yaitu saintifik, literasi, dan berhitung. 

Apakah Indonesia bisa seperti pendidikan di Eropa? Mari kita coba...

TK: Manajemen Diri

Ilustrasi anak mengeksporasi dirinya (www.redbookmag.com)
Ilustrasi anak mengeksporasi dirinya (www.redbookmag.com)
Di usia taman kanak-kanak (5 tahun) anak sebaiknya dilatih untuk mampu memanajemen dirinya sendiri. Manajemen diri dilakukan melalui tiga ranah kognitifnya (pikirannya), afektifnya (perasaan atau emosinya), dan psikomotoriknya (perilakunya). 

Metode yang dapat digunakan adalah metode bermain, karena siswa di usia ini suka bermain. Maka materi yang diberikan pun sebaiknya materi yang mendorong siswa untuk melakukan permainan yang mampu untuk membangun ketiga ranah tersebut. 

Anak diajak untuk bereksperimen, bereksplorasi, menemukan, mencoba, melakukan restrukturisasi, berbicara, dan mendengar. Mereka diberi kebebasan dalam memilih berbagai aktivitas. Guru hanya bertindak sebagai fasilitator, bukan pemimpin.

SD: Eksplorasi Lingkungan

ilustrasi siswa menanam tanaman (hadrianusnoi.files.wordpress.com)
ilustrasi siswa menanam tanaman (hadrianusnoi.files.wordpress.com)
Di sekolah dasar (6-11 tahun) anak diajarkan untuk mencintai alam dan sesama makhluk hidup. Upaya yang dapat dilakukan untuk eksplorasi lingkungan yaitu melaksanakan pembelajaran di luar ruangan (outdoor).

Siswa diajak untuk membuang sampah pada tempatnya, menyiram tanaman, menanam bunga, memberi makan hewan, dan lain-lain. 

Maka jika mencintai lingkungan dan sesama makhluk hidup dilakukan sejak anak masih duduk di sekolah dasar, anak akan terbiasa jika dewasa nanti menerapkan kebiasaan mencintai lingkungan dan makhluk hidup lainnya.

SMP: Menemukan dan Mengembangkan Passion/Bakat

ilustrasi siswa berbakat memasak (www.karangturi.sch.id)
ilustrasi siswa berbakat memasak (www.karangturi.sch.id)
Di sekolah menengah pertama (12-14 tahun) guru mencoba untuk mencari, menemukan, dan membantu siswa mengembangkan bakatnya. Bakat siswa tentu berbeda-beda, ada yang berbakat dalam bidang sains, sosial, bahasa, life skill, seni, dan lain-lain. 

Maka penentuan jurusan sesuai bakatnya sebaiknya dimulai sejak siswa duduk di sekolah menengah pertama, bukan di sekolah menengah atas. Sehingga, hal ini akan berdampak positif pada kepribadian siswa, dimana siswa akan semangat dalam bersekolah, dan fokus dengan bakat yang ia miliki.

SMK: Merancang Karir di Masa Depan

ilustrasi merancang karir (www.intipesan.com)
ilustrasi merancang karir (www.intipesan.com)
Setelah siswa menemukan bakat atau passionnya, dan fokus mengembangkannya, maka di sekolah menengah kejuruan (usia 15-17 tahun) siswa akan lebih fokus dalam merancang karir. Sehingga setelah selesai sekolah ia lebih tahu kemana tujuan hidup yang ingin ia tuju. 

Jadi, kecil sekali kemungkinan siswa akan salah jurusan jika kuliah, atau kuliah karena ikut-ikutan, atau kuliah karena di suruh orang tuanya, atau kuliah karena tidak ada kegiatan.

Universitas: Membangun dan Mematangkan Core Skill Diri

ilustrasi sukses kerja tim (asset.kompas.com)
ilustrasi sukses kerja tim (asset.kompas.com)
Di jenjang perguruan tinggi atau universitas (usia 18-21 tahun) waktunya mahasiswa untuk membangun dan mematangkan core skill diri tanpa harus memulai dari awal lagi. Sehingga yang akan dicapai seseorang dalam hidupnya adalah kesuksesan tentang mimpi-mimpinya yang terwujud.

ilustrasi succes (smkn1binuang.sch.id)
ilustrasi succes (smkn1binuang.sch.id)
Itulah konsep merdeka belajar ala saya, bedakan dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia sekarang. Di tingkat TK hingga universitas anak hanya dijejali teori-teori dengan kegiatan belajar di dalam ruangan dengan evaluasi berupa ujian. 

Di perguruan tinggi pun mahasiswa harus memulai dari nol kembali untuk mewujudkan cita-citanya, bahkan ada yang tak memiliki cita-cita karena kuliah hanya sekedar ikut-ikutan atau karena tidak ada kegiatan alias pengangguran. 

Di perguruan tinggi pun ia baru memulai segalanya, dan kebanyakan gagal mendapatkan pekerjaan, atau bekerja tapi tidak sesuai keahlian atau bidangnya, atau mendapatkan pekerjaan tetapi tidak memiliki kompetensi.

Maka kiranya, tidak ada salahnya sistem pendidikan di Indonesia ini dibenahi menuju lebih baik, pendidik harus siap untuk menjadi pengajar dengan kompetensi yang mumpuni, dan harus mau untuk belajar sepanjang hayat. 

Jika pendidikan tidak mau berbenah, bagaimana bisa melahirkan generasi-generasi emas, bagaimana bisa membawa Indonesia untuk lebih maju lagi, bagaimana bisa Indonesia bersaing dengan negara-negara lainnya.

Bagi pemangku kebijakan, ayolah wujudkan merdeka belajar, sejahterakan para guru honorer. Guru memang pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi mereka juga punya keluarga, butuh sandang, papan, dan pangan, sama seperti pejabat-pejabat tinggi, bahkan saya kira jabatan guru lebih tinggi dari jabatan apapun di muka bumi ini.

Sebagai penutup, mari mengingat sejarah. Ketika Jepang terpuruk dengan hancurnya Kota Nagasaki dan Hiroshima oleh bom Amerika, 

Jepang saat itu lumpuh total. Korban meninggal mencapai jutaan. Jepang terpaksa menyerah kepada sekutu. Kaisar Hirohito mengumpulkan kepada semua jendral yang tersisa, katanya,

Berapa jumlah guru yang tersisa? Kita telah jatuh karena kita tidak mau belajar. Kita kuat dalam senjata dan strategi perang, tapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak belajar, bagaimana kita akan mengejar mereka? Maka kumpulkan sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini, karena sekarang kepada mereka kita akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan.

Semoga bermanfaat.

Sumber rujukan: 

Peringkat Pendidikan Indonesia di Bawah Malaysia dan Brunei, China yang Terbaik di Dunia
Intip Kesuksesan Sistem Pendidikan di Finlandia, Yuk!
Kaisar Hirohito: Berapa Jumlah Guru yang Tersisa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun