Hujan semalam masih meninggalkan jejak di tanah basah. Mentari pagi menyinari aspal-aspal jalanan desa.
Sejak subuh tadi, nenekku tak beranjak dari duduknya di tikar lapuk. Dengan piranti tradisional, batu dan pukul kayu kecil, mulai mengupas kacang, untuk di tanam.
Budheku pun telah berangkat ke ladang, setelah sejak subuh tadi menyiapkan sarapan untuk di bawa ke ladang.
Para petani desa sebelah, beriring-iringan jalan di sebelah dapur rumahku. Menyapa ibu yang menunggu air mendidih di atas tungku.
Wajah-wajah bahagia menyambut hujan dan musim tanam.
Tiga hari yang lalu, badai angin menerbangkan jemuran-jemuran kami. Nenekku bergegas melepas sabuk di pinggangnya dan menali tiang saka penyangga atap. Tradisi menali tiang telah dilakukan bertahun-tahun di kala menjelang musim penghujan.
Tahun-tahun yang lalu, saat seragam merah putih masih kukenakan, aku dan kakakku suka mengikuti teriakan tetangga-tetangga kami.
Dadung.. dadung... begitulah suara kami. Lalu kami disuruh keluar rumah, menunggu di teras hingga hujan reda. Untuk menghalau kebosanan, kami membersihkan teras rumah yang licin. Bermain air dan tertawa gembira.
Lalu, muncul kabar tetangga yang rumah kayunya terhempas angin. Kami berlari-lari ingin melihat. Bapak-bapak dan ibu-ibu bergotong royong membantu mendirikan rumah itu kembali.
Demikianlah suka cita petani kami menyambut hujan. Ladang-ladang yang berbulan-bulan kering, kini dijatuhi rejeki Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H