Mohon tunggu...
Lipur_Sarie
Lipur_Sarie Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangga yang mencintai alam

Indonesia adalah potongan surga yang dikirimkan Sang Pencipta untuk rakyatnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tedhak Siten, Salah Satu Adat Jawa yang Semakin Pudar

2 Januari 2014   13:42 Diperbarui: 4 April 2017   16:29 25488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tedhak siten, merupakan salah satu budaya masyarakat Jawa untuk balita yang berusia antara tujuh atau delapan bulan. Atau pertama kalinya kaki si anak menyentuh tanah. Tedhak artinya turun dan siten berasal dari kata siti yang berarti tanah. Jadi tedhak siten adalah rangkaian upacara turun tanah yang bertujuan agar si anak tumbuh menjadi anak yang mandiri dan mampu menghadapi setiap godaan atau rintangan dalam hidupnya. Selain itu upacara tedhak siten juga mempunyai makna kedekatan anak dengan ibu. Ibu disini maksudnya adalah ibu pertiwi atau tanah kelahiran.

Ritual tedhak siten menggambarkan persiapan seorang anak dari kecil sampai dewasa untuk menjalani setiap fase kehidupan dengan baik dan benar sehingga diharapkan sukses di masa depannya. Sedangkan bagi para leluhur, ritual adat ini merupakan wujud penghormatan bagi bumi sebagai tempat bagi si kecil yang mulai belajar berjalan dengan diiringi do’a- do’a baik dari orang tua maupun sesepuh.

Adapun urutan jalannya upacara tedhak siten sebagai berikut :

[caption id="attachment_287783" align="aligncenter" width="350" caption="Tata urutan upacara tedhak siten (foto : chic.id.com)"][/caption] 1. Upacara tedhak siten biasanya diadakan pada pagi hari. Ketika semua tamu yang biasanya hanya terdiri dari keluarga dekat sudah hadir, dengan dituntun sang ibu anak berjalan maju dengan menginjak bubur yang terbuat dari beras ketan dengan tujuh warna. Yaitu warna merah, putih, kuning, hijau, biru, ungu dan orange. Warna- warni beras ketan tersebut menggambarkan warna-warni kehidupan. Sedangankan angka tujuh dalam bahasa Jawa artinya pitu. Mengandung makna pitulungan atau pertolongan. Pada saat si anak berjalan melewati warna demi warna dari beras ketan tersebut, diharapkan si anak mampu melewati tahapan demi tahapan dalam kehidupannya dengan pertolongan dari Tuhan Yang Maha Esa tentunya. 2. Selanjutnya si anak dituntun menaiki tangga yang terbuat dari tebu. Tebu disini merupakan singkatan dari antebing kalbu, atau mantapnya hati. Sehingga diharapkan anak mempunyai kemantapan hati dalam menjalani kehidupan. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa sampai tua. 3. Setelah turun dari anak tangga, si anak dituntun berjalan menuju onggokan pasir yang sudah disediakan. Di situ si anak ceker-ceker atau mengais pasir dengan kakinya. Hal itu mengandung makna jika sudah waktunya/dewasa, dia pandai mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. [caption id="attachment_287785" align="aligncenter" width="377" caption="Anak dimasukkan ke dalam kurungan yang sudah dihias untuk memilih benda-benda yang disukainya (foto by: siboglou.wordpress.com)"]

13886445731039351191
13886445731039351191
[/caption]

4. Si anak kemudian dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang sudah dihias sedemikian rupa. Di dalam kurungan tersebut terdapat beberapa benda. Misalnya: bohlam, buku, HP, raket, bola dsb. Si anak dibiarkan memilih benda-benda tersebut. Misalnya dia memilih bohlam, nantinya dia akan menjadi anak yang pandai dan menjadi penerang di lingkungan sekitarnya. Sedangkan kurungan merupakan lambang dari dunia. Artinya si anak sudah mulai memasuki dunia nyata dalam kehidupannya.

5. Tahapan selanjutnya bapak atau kakek (jika masih ada) menyebar udik-udik. Udik-udik adalah uang logam yang sudah dicampur dengan berbagai macam bunga. Hal ini mengandung makna, kelak si anak mempunyai sifat dermawan, gemar ber-shodaqoh sehingga rejekinya lancar.

6. Pada tahap ini si anak dibasuh atau dimandikan dengan kembang setaman (bunga setaman), dengan tujuan nantinya si anak mempunyai nama yang harum dan mampu membawa nama baik keluarga, agama dan berguna bagi masyakarat.

7. Terakhir, si anak didandani dengan pakaian yang bagus dan bersih. Hal ini mengandung makna supaya mempunyai jalan kehidupan yang bagus dan mampu membanggakan keluarga.

Ritual tedhak siten sarat makna dan nilai filosifis. Dengan menjalani kehidupan yang baik dan menjaga keseimbangan alam, maka akan timbul kehidupan yang nyaman dan damai. Karena bumi dan tanah sudah memberi banyak hal dalam kehidupan manusia. Pada saat inilah terbuka kesempatan kita untuk berbuat sebaik-baiknya. Tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga masyarakat pada umumnya. Sehingga pada saat buku kehidupan kita selesai, kita dapat diri sebagai pribadi yang berkenan kepada-Nya.

Hanya saja, seiring perkembangan jaman ritual tedhak siten semakin sulit dan jarang dijumpai pada masyarakat Jawa pada khusunya. Entah karena kesibukan, dianggap kuno, buang-buang waktu dan uang ataupun lainnya. Sayang...

Salam budaya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun