Mohon tunggu...
Lipur_Sarie
Lipur_Sarie Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangga yang mencintai alam

Indonesia adalah potongan surga yang dikirimkan Sang Pencipta untuk rakyatnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gamelan Sekaten, Salah Satu Warisan Kanjeng Sunan Kalijaga, Pembawa Kericuhan?

10 September 2024   14:23 Diperbarui: 10 September 2024   14:30 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gb. 1 Para pengrawit Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu beserta penikmatnya (ft.pribadi)

Sejarah Gamelan Sekaten

Gamelan Sekaten adalah salah satu jenis gamelan Jawa yang hanya dimainkan pada pagelaran atau upacara adat tertentu. Upacara adat yang dimaksud adalah untuk memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW. Pertama kali dikembangkan pada era Kasultanan Demak. Hal tersebut diawali dengan musyawarah Wali Sanga yang didalamnya hadir Kanjeng Sunan Kalijaga yang mengusulkan gagasan bahwa gamelan akan dijadikan media dakwah. Peristiwa itu terjadi sekitar abad ke- 16.

Mengenai teknis penggunaan gamelan sebagai media dakwah, Prajapangrawit dalam tulisannya menyebutkan bahwa Kanjeng Sunan Kalijaga dalam rangka merealisasikan tujuannya meng-Islam-kan tanah Jawa perlu memanfaatkan sarana budaya yang disukai, paling dekat dan dianggap pusaka oleh masyarakat Jawa. Yaitu gamelan. Gamelan tersebut ditabuh di dekat masjid dengan suara keras supaya terdengar sampai jauh, terlebih orang yang mendengarnya dari jarak dekat. Dapat dipastikan, mereka yang penasaran akan datang dan melihat wujud atau mendengar langsung dari sumber bunyi.

Demi mewujudkan rencana tersebut, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga dengan dibantu ahli pembuat gamelan membuat seperangkat gamelan Sekaten dengan bentuk yang lebih besar daripada gamelan-gamelan biasa. Sehingga suara yang dihasilkan lebih keras dan nyaring.

Nah, pada masa Kasultanan Mataram, tidak ditemukan keterangan mengenai keberadaan gamelan Sekaten. Tetapi dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa dua raja pertama Mataram, yaitu Panembahan Senopati dan Panembahan Seda Krapyak tidak menggunakan gelar Sultan ataupun Sunan/Susuhunan. Melainkan menggunakan gelar Panembahan yang kedudukannya dibawah raja. Sementara, gamelan Sekaten salah satu pusaka raja. Akibatnya, kedua Panembahan tersebut tidak menggunakan gamelan tersebut sebagi simbol keagungan.

Namun, begitu Hanyakrakusuma naik tahta bergelar Sultan Agung, beliau memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi Sekaten seperti pada jaman kerajaan Demak dahulu. Beliau memerintahkan ahli pembuat gamelan kerajaan untuk membuat gamelan "baru" yang memiliki karakter suara yang sama dengan gamelan Sekaten Demak. Tahun pembuatan gamelan tersebut ditandai dengan sengkalan memet berupa ukiran nanas dan buah-buahan dalam satu wadah dengan sengkalan tahun 1566 Jawa atau 1644 Masehi jika dijabarkan berbunyi " rerengan wohwohan tinata sing wadhah". Satu tahun sebelum Sultan Agung wafat. Gamelan itu diberi nama Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari.

Gb. 2 Gapura Masjid Agung Kasunanan Surakarta (ft. pribadi)
Gb. 2 Gapura Masjid Agung Kasunanan Surakarta (ft. pribadi)

Akan tetapi, peristiwa penandatanganan Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 membawa dampak yang luar biasa dalam hal sosio kultural.

(baca :  https://www.kompasiana.com/sarie/66ab3e31c925c430731a2972/dari-arsip-anri-cerita-sejarah-perjanjian-giyanti-masih-bisa-dinikmati-sampai-saat-ini). Salah satunya dalam pelestarian gamelan Sekaten. Karena kasultanan Mataram dipecah/dibagi menjadi dua yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, maka gamelan Sekaten yang notabene menjadi pusaka raja harus juga dibagi menjadi dua dengan kondisi yan tidak lengkap. 

Kasultanan Yogyakarta mendapatkan Kyai Guntur Madu, Kasunanan Surakarta mendapatkan Kyai Guntur Sari. Akibatnya, dua kerajaan itu berupaya melengkapi gamelan Sekaten tersebut dengan membuat duplikat yang dikenal dengan istilah putran. Kasultanan Yogyakarta melalui Hamengkubowono I membuat putran Kyai Guntur Sari yang diberi nama Kyai Naga Wilaga. Sementara Kasunanan Surakarta melalui Pakubuwana III membuat putran Kyai Guntur Madu dan diberi nama yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun