Perhiasan di Indonesia mempunyai sejarah perjalanan yang sangat panjang. Hal tersebut dapat dilihat pada relief dan hiasan candi Borobudur yang menggambarkan kehidupan masyarakat sehari-hari, sehingga unsur- unsur khas Indonesia begitu menonjol. Seperti relief perahu bercadik, rumah panggung, bertani, peperangan, mencari ikan, flora, fauna, pertunjukan kesenian dan perhiasan (Prasetyo, 1993:28).
Penamaan candi Borobudur masih menjadi pertanyaan. Ada yang menggunakan kata Borobudur untuk penyebutan bangunan. Namun, berdasar penjelasan masyarakat yang tinggal di sekitar candi Borobudur mengatakan bahwa zaman dahulu di sekitar candi Borobudur tumbuh pohon budur yang diartikan sebagai pohon bodhi atau pohon kehidupan. Sehingga, bagi masyarakat desa sekitarnya istilah yang lazim dipakai adalah budur untuk memberikan penamaan pada bangunan suci tersebut.
JL Moen dalam artikelnya yang berjudul Borobudur Mendut en Pawon en hun onderlinge samen I -II mengartikan istilah budur dengan kota Budha. Berbeda lagi dengan pendapat Poerbatjaraka, seorang putra bangsa yang ahli dalam Bahasa Jawa Kuno. Ia mengatakan bahwa Borobudur berasal dari kata biara (tempat suci atau kuil) dan bidur yang berarti tempat tinggi. Maka, dua kata tersebut mempunyai arti kuil atau tempat suci yang berada di tempat yang tinggi (Prasetyo, 1993:14-15).
Terlepas dari itu semua, dalam khazanah budaya Indonesia candi Borobudur merupakan salah satu bukti penguasaaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat canggih. Bangunan besar, kokoh dan megah dari abad ke- 8 Masehi dengan gaya arsitektur yang rumit dan menakjubkan mampu menjadi primadona pada jamannya sekaligus sebagai tanda kejayaan dan kemakmuran masyakarat Jawa kuno yang hidup pada masa itu.
Dari data prasasti, candi-candi dan tinggalan arkeologi lainnya diperoleh informasi bahwa pada pertengahan abad ke-7 sampai pertengahan abad ke-10 Masehi wilayah Jawa Tengah berada dibawah kekuasaan dua dinasti, yaitu dinasti Syailendra dan dinasti Sanjaya. Kedua dinasti tersebut membangun banyak candi di Jawa Tengah, antara lain candi Dieng, Gedhong Songo, Borobudur, Prambanan, Plaosan, Mendut, Sewu, Kalasan dan kraton Ratu Boko (Ari Irawan dan Muhammad Idris dalam Seni Perhiasan dalam Kebudayaan Mataram Kuno sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah, Studi Ikonografi Relief Candi Borobudur).
Drs. Muhammad Husni & Dra. Tiarma Rita Siregar dalam tulisannya yang berjudul "Perhiasan Tradisional Indonesia " menuliskan : Sebagai pelengkap pakaian, perhiasan tidak mutlak harus dikenakan oleh setiap orang, karena perhiasan bukan merupakan kebutuhan utama. Walaupun begitu, perhiasan memegang peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat tertentu. Hal ini dapat dilihat dari besarnya perhatian orang terhadap perkembangan perhiasan dari masa ke masa. Fungsi perhiasan sebagai alat untuk memperindah atau mempercantik diri dapat lebih luas lagi karena dapat pula meliputi pemakaian kosmetik.
Semula bahan yang digunakan untuk membuat perhiasan sangat sederhana dan mudah didapat dari alam sekitar (daun, bunga, buah, batu, kayu dan tulang). Pada masa perudagian, perhiasan berupa gelang kaki, gelang tangan,kalung, topi, dan senjata yang terbuat dari logam tuang, khususnya perunggu sudah dikenal. Kemudian pada masa Hindu Budha, seni perhiasan mulai mengalami perkembangan dengan ditemukannya kaca, tembaga, emas dll.
Sejalan dengan perkembangan peradapan manusia, jenis dan bentuk perhiasan yang dipakaipun semakin berkembang. Perhiasan dari tulang dan batu mulai ditinggalkan. Pada mulanya perhiasan dikenal manusia sekitar 6500 tahun silam (perhiasan disini bukan hanya dipakai wanita. Tapi juga pria). Semenjak nenek moyang mengenal teknik penanganan logam, banyak perhiasan yang dibuat dari perunggu dan emas.
Bentuk perhiasan yang ada di Indonesia semakin berkembang dan bervariasi. Hal tersebut didukung oleh wilayah geografisnya yang terdiri dari pulau, bukit maupun gunung.