Saat itu waktu menunjukkan pukul 19.30 wib. Suara gamelan sudah terdengar dari dalam gedung Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah. Tanda dikomando saya dan anak saya mempercepat langkah. Was-was kalau ketinggalan moment. Begitu sampai di depan pintu masuk gedung Teater Arena, masih banyak yang antri untuk masuk. Lega rasanya...Ternyata suara gamelan itu, untuk menyambut para penonton yang datang. Setelah membeli tiket seharga Rp. 15.000,- saya dan anak saya masuk ke gedung Teater Arena. Beberapa saat berdiri di tangga masuk. Karena ternyata tempat duduk yang di tengah sudah penuh, di sisi kanan dan kiri masih banyak yang kosong. Tapi bagi saya kurang nyaman nonton pertujukan dari sisi samping. Untung saja masih ada 3 tempat duduk kosong di bagian tengah, walau itu di sisi paling kiri. Ah...lumayanlah. Daripada di sayap samping.
[caption id="attachment_332280" align="aligncenter" width="426" caption="Tempat para pemain sebelum main (ft by Blontank Poer)"][/caption]
[caption id="attachment_332283" align="aligncenter" width="261" caption="Leng versi Gapit 1998 oleh Mas Pelok dan Mbak Inong (ft by Blontank Poer)"]
[caption id="attachment_332285" align="aligncenter" width="470" caption="Leng versi Lungid 2014 oleh Riwus dan Yudha Rena (ft by Blontank Poer"]
Suara gamelan berhenti. Tak begitu lama, suara gemelan kembali dibunyikan. Jam 20.00 wib pertunjukan dimulai. Seluruh pendukung karya berada di tempat duduk sisi kiri. Dalam balutan suara gamelan dan suara sinden-sinden dan seluruh pendukung, Mas Budi Prasetyo Bayek menyapa penonton. Dari Mas Beyek pula (yang malam itu bertindak sebagai Pimpinan Produksi) mengatakan kalau lakon "Leng" sudah pernah dimainkan pada tahun 1985-an di Monumen Pers Surakarta. Yang kala itu dimainkan oleh Teater Gapit. Ada Mas Djarot, Mas Pelok, Mas Bayek, Mbak Inong, Mbak Thingthong, Mbak Sri Lestari dan Mbak Cempluk. Malam itu mereka ada, tetapi tidak bermain peran. Mereka yang bertindak sebagai sutradara, atau di bagian vokal. Sedangkan lakon Leng tetap dipilih untuk kembali dimainkan karena sekali lagi menurut Mas Bayek, lakon itu masih relevan dengan situasi saat ini. Perlu diketahui, bahwa empat perempuan yang saya tulis itu adalah anggota kelompok Sahita. Kelompok teater-tari dari Solo yang sudah banyak sekali manggung. Salah satunya di acara IMB beberapa waktu lalu.
[caption id="attachment_332290" align="aligncenter" width="470" caption="Beberapa tokoh Leng : Rebo, Mbok, Janaka dan Kecik (ft by Blontank Poer)"]
[caption id="attachment_332291" align="aligncenter" width="470" caption="Para pemain Lungid dan sang sutradara setelah pentas (ft by Blontank Poer)"]
[caption id="attachment_332292" align="aligncenter" width="470" caption="Para senior Lungid setelah pentas (ft by Blontank Poer)"]
Yah...teater Lungid, teater bahasa Jawa dari Solo malam itu berkesempatan memainkan kembali lakon Leng. Dengan pemain yang masih muda-muda tentunya. Leng bercerita tentang seseorang yang haus dengan kekuasaan dan kekayaan. Sehingga dia sering paranoid, takut kehilangan itu semua. Padahal itu hanya khayalannya saja. Pak Rebo yang pada 25-26 Pebruari 1998 diperankan oleh Mas Pelok Sutrisno dan tahun 29-30 Oktober 2014 diperankan oleh Riwus di tempat yang sama. Bapak dan anak yang sama-sama bagus dan lucu dalam memerankan tokoh si Rebo. Juru kunci makam yang akhirnya kena gusur karena akan dipakai untuk perluasan lahan pabrik. Walaupun Bongrek yang notabene wong cilik dan pernah menjadi buruhnya Ndoro menentang. Setelah mencapai puncak kemarahan dia melayangkan surat ke Ndoro, bahwa dia sangat menentang dengan segala aktivitas pabrik pimpinan Ndoro dan berani dengan segala resikonya. Namun, uang lebih berbicara. Dengan menyewa pembunuh bayaran, akhirnya Bongkrek tewas ditembak.
Orang-orang kecil dan marginal yang sebelumnya bisa mengais rejeki dari area pemakaman, karena ada salah satu makam yang dikultuskan, yang sering disinggahi baik oleh warga lokal sampai orang-orang Jakarta. Bubar. Berbagai permintaan mereka ajukan. Ada yang minta jodoh, karir, berkah sampai kewibawaan. Tentunya melalui perantara si Rebo dengan memberikan uang yang dimasukkan ke dalam kaleng yang sudah disediakan.
Dua malam Teater Lungid pentas. Dan dalam waktu dua jam pula mereka memerankan tokoh-tokoh yang ada dalam naskah Mas Kenthut Bambang Wiyono (alm) secara apik dalam bahasa Jawa. Ada beberapa dialong yang dirubah sedikit yang disesuaikan dengan keadaan sekarang, namun tidak mengurangi ruh pementasan malam itu. Banyolan-banyolan dan umpatan-umpatan Jawa menjadikan suasana menjadi gerr. Hanya saja, bagi saya waktu dua jam itu terasa lama. Sehingga kadang di sela-sela menonton ada rasa jenuh. Tapi, apapun itu selamat dan sukses untuk Lungid. Semoga bisa semakin meramaikan jagad teater tanah air.