sekerat hibat berkelukur
ndik, kemaren kau datang untuk menyimpan riuh pawai kehidupan di kepalaku. dan meninggalan secarik peta agar aku bermain dengan tebakan tak mendasar. sementara kau diam mereguk kopi yang kau seduh dengan cabik masa lalumu.
'bodoh, kan aku?"
namun yang tak pernah kau tahui, aku menikmati segala aroma kedatanganmu. meski anyir dusta terlintas dari senyum bibirmu di antara perbincangan kita.Â
ah, ndik! usah kau sembunyikan genang airmata pertanda rapuhmu.
sungguh, hujan yang sempat kaukisahkan padaku, tak lebih dari catatan berbeda warna. cerita yang sama, biru terdengar di telingaku, merah jambu bagi masa lalumu. Meresap sebagai pengingat waktu sebelum noktah hitam jadi penyempurna kisah itu.
sekali lagi kau tak kan pernah tahu. kau sepenuh purnama di balik gerhana.
ndik, teruslah tertawa sendiri dengan mendabik dada sebagai pendongeng paling tamam. hingga rejam telinga-telinga perindu kabar rawi oleh rayu keakuanmu.
lalu aku? ah, tak perlu kautanya pedihku. secangkir kopi dan setangkup sepi masih kekasih abadi.
#poeds 110724
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H