Mohon tunggu...
Sarianto Togatorop
Sarianto Togatorop Mohon Tunggu... Guru - Pengajar yang menyukai kebebasan

Seseorang yang tak tahu kalau dia ada

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Layang-layang, Alternatif Permainan Anak di Masa Pandemi

24 Juni 2020   21:38 Diperbarui: 24 Juni 2020   23:18 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompasianers, masih ingat lagu Layang-layang kan? Lagu anak-anak yang sering dinyanyikan di sekolah dasar sekaligus sebagai sarana mendidik bagi anak-anak dalam bermain. Sampai sekarang pun lagu fenomenal ini masih diperdengarkan dengan berbagai aransemen dan video ilustrasi yang menarik.

Yuk kita nostalgia sejenak dengan lagunya, begini liriknya:

"Kuambil buluh sebatang, kupotong sama panjang. Kuraut dan kutimbang dengan benang. Kujadikan layang-layang. Bermain, berlari. Bermain layang-layang. Bermain ku bawa ke tanah lapang. Hati gembira dan senang."

Demikian penggalan liriknya. Lagu ini sangat sederhana dengan pilihan kata yang mudah dimengerti anak-anak. Ada tiga poin penting yang coba ditanamkan sebagai nilai didik dalam lagu ini yaitu: kemandirian, kepedulian dan kegembiraan.

Sepanjang syair lagi ini, anak-anak diajarkan untuk membuat layang-layang sendiri, bukan dengan membeli atau meminta dibuatkan orang lain. Pun prosesnya tidak serta merta menjadi layang-layang. Bambu harus diraut hingga halus, ditimbang agar layangan seimbang lalu akhirnya menjadi layang-layang.

Bermain layang-layangnya pun harus di tanah lapang. Jangan di dekat pemukiman yang banyak kabel listrik, apalagi di daerah padat yang dapat mengganggu ketertiban. Bermain adalah kesenangan anak-anak. Bermain merupakan kebutuhan anak-anak, namun perlu mengikuti aturan bermain. Jika semua sudah diikuti, maka kesenangan tidak ada penghalang lagi.

Sejarah Layang-layang

Lukisan dalam Gua di Pulau Mina, Sulawesi Utara (sumber: goodnewsfromindonesia.id)
Lukisan dalam Gua di Pulau Mina, Sulawesi Utara (sumber: goodnewsfromindonesia.id)
Permainan layang-layang pertama sekali dikenal sekitar 2500 Sebelum Masehi (SM) di China, menurut sumber tertulis dari sejarah negeri China. Namun penggambaran layang-layang telah ditemukan dalam gua zaman mesopolitik di Pulau Mina, Sulawesi Tenggara sejak 9500-9000 SM. Dalam lukisan tersebut, layang-layang disebut Kaghati, yang terbuat dari daun Kolope (sejenis umbi hutan). Di Nusantara sendiri banyak ditemukan jenis layang-layang primitif yang terbuat dari berbagai jenis daun-daunan (sumber: id.wikipedia.com).

Berbeda dengan layang-layang purba dari Indonesia, layang-layang dari China terbuat dari kain sutera dan bambu emas sebagai kerangkanya. Dan gambaran layang-layang China inilah yang menjadi gambaran layang-layang masa kini.

Namun banyak sejarawan dunia yang meyakini bahwa layang-layang pertama di dunia adalah yang berasal dari Indonesia, mengingat terdapat banyak lukisan purba mengenai layang-layang dalam keseharian manusia purba di Indonesia, yang usianya bahkan lebih tua dari layang-layang di China.

Kaghati, layang-layang purba asal Indonesia ini tidak diketahu jelas apa fungsinya. Namun selain sebagai permainan, layang-layang di Indonesia dulunya digunakan untuk mengusir hama di sawah. Sejenis bambu digantungkan pada layang-layang akan mengeluarkan bunyi tertentu saat tertiup angin dan bergoyangan mengikuti layang-layang akan mengusir hama tanaman di sawah.

Jenis Layang-layang Modern

Berbagai jenis layang-layang berkembang di era modern. Layangan tidak lagi hanya berbentuk dua dimensi yang umumnya berbentuk segi empat (wajik), namun sekarang banyak layangan dua dimensi yang berbentuk karakter, seperti burung, kelelawar, kupu-kupu atau bentuk hewan lain.

Layang-layang tiga dimensi juga kini marak. Bahkan ukurannya hingga melebihi ukuran tubuh manusia. Misalnya saja layangan berbentuk naga yang panjangnya bahkan hingga pulgan meter dan harus diterbangkan oleh sekelompok pria serta menggunakan tali yang tebal sebagai pengganti benang.

Selain sebagai permainan tradisional, layang-layang pun sudah dimodifikasi menjadi bentuk olahraga dan sejenis kompetisi yang tidak hanya mempertandingkan seni dalam membuat layang-layang, namun juga bagaimana menerbangkannya. Beberapa negara selain Indonesia dan India bahkan rutin menyelenggarakan festival layang-layang untuk mendatangkan wisatawan.

Memangcing Menggunakan Layang-layang

Selain untuk mengusir hama tanaman, belakangan ini layang-layang juga digunakan untuk memancing ikan. Di beberapa daerah di Indonesia, nelayan menggunakan layang-layang untuk memancing ikan di laut.

Sebuah mata pancing diikatkan pada benang dan digantungkan pada layang-layang. Layang-layang akan menggerak-gerakkan mata pancing yang sudah diberi umpan di permukaan air sehingga menarik perhatian ikan. Mata pancing sudah dimakan ikan akan diketahu ketika latang-layang sudah sulit bergerak, sebab gerakan ikan yang menarik layang-layang.

Selain memancing ikan, layang-layang juga dimanfaatkan petani untuk membantu mengusir hama burung di sawah padi sebelum siap dipanen. Layang-layang yang beterbangan akan menakuti kawanan burung sehingga bergerak menjauh.

 Layang-layang dan Masa Kanak-kanak

Saat saya kecil, permainan layang-layang adalah salah satu permainan favorit kami. Saat musim panas dan berangin sangat menyenangkan bermain layang-layang. Ada satu lapangan tempat kami biasa bermain layang-layang.

Uniknya, seperti lagu Layang-layang, kami pantang menggunakan layangan yang dibeli. Anak yang menggunakan layangan jadi yang dibeli dari warung akan mendapat olok-olokan dari teman-temannya sebab dinilai tidak mampu membuat layang-layang.

Bahan yang kami gunakan biasanya koran bekas. Saat sulit untuk mendapatkan koran, maka bahan beralih ke plastik kresek yang biasa dipakai ibu berbelanja. Bambunya dari mana? Namanya anak-anak pasti nakal. Biasanya rumah yang terbuat dari bambu menjadi sasaran kami. Apalagi saat yang punya rumah sedang ke sawah, maka itu kesempatan emas. Jangan ditiru ya, kompasianers.

Selain bambu kadang sapu lidi punya ibu yang jadi korban. Kami tak menggunakan lem. Sebagai perekat kami menggunakan nasi untuk merekatkan kertas koran. Atau benang jika bahan layangannya adalah plastik.

Jadilah layang-layang seadanya. Ada yang terbang sempurna, ada juga yang terbangnya berputar-putar, tiba-tiba menukik dan macam-macam. Menyiasatinya biasanya sisi kanan atau kiri layangan akan diberi lobang, atau diberi ekor untuk menambah kestabilan layang-layang.

Namanya anak-anak, ada saja kenakalannya. Jika layangan kami putus dan menyangkut di atap rumah penduduk, maka kami biasanya gunakan galah dari kayu yang disambung-sambung untuk meraihnya, hingga yang punya rumah marah karena atap rumahnya rusak. Kami pun lari berhamburan.

Belum lagi mengejar layangan putus hingga masuk ke rawa-rawa. Tak jarang kaki terluka terkena batu, duri atau benda tajam seperti kaca. Namun tak menghalangi kesenangan bermain layang-layang hingga hari berganti sore dan jerit suara ibu mulai menggema.

Bermain Layangan di Masa Pandemi

Masa pandemi dan libur sekolah membuat anak-anak bosan di rumah. Sebagai gantinya dapat diisi dengan kegiatan positif. Bermain layang-layang dapat menjadi pilihan. Permainan ini tidak menuntut untuk berkumpul, sehingga dapat dimainkan sambil menerapkan social distancing.

Memilih tempat yang aman seperti tanah lapang, sawah, tepian pantai atau tempat lain yang aman untuk bermain layang-layang adalah hal penting lainnya. Perlu tetap adanya pendampingan orang tua saat anak-anak bermain layang-layang anak-anak dapat terhindar dari hal-hal yang dapat membahayakan.

Selain itu menggunakan benang yang tidak berpotensi melukai tangan. Benang yang sudah dilapisi serbuk kaca, sangat tidak disarankan karena dapat melukai jari atau bagian tubuh lainnya.

Asiknya bermain layang-layang, tak hanya anak-anak yang menggandrunginya. Orang dewasa pun turut menikmati permainan ini. Sekaligus dapat menjadi media mengajarkan anak ketekunan dalam mebuat layang-layang, disiplin bermain di tempat yang tepat, dan mengurangi kecanduan anak pada permainan di gawai.

ST, Djb June

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun