Mohon tunggu...
Amelia Sari
Amelia Sari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Horee, Sejak Era Jokowi "Tiket" Terpakai Bisa Digunakan Kembali

17 Juli 2017   13:49 Diperbarui: 17 Juli 2017   16:49 1675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana pemerintah kembali menggunakan UU Pemilu yang lama dalam pesta demokrasi 2019, menjadi lelucon yang membuat geli. UU Pemilu yang lama didalamnya memuat aturan yang menjadi tiket untuk pemilihan presiden, seperti pengaturan ambang batas pencalonan. Hasil Pileg menjadi rujukan siapa yang menjadi pemenang, dan berapa perolehan suara masing-masing partai.

Dalam UU lama ditetapkan ambang batas pencalonan presiden adalah 20 persen kursi di DPR atau 25 persen perolehan suara nasional. Dengan ketetapan itu, maka partai-partai yang ingin mencalonkan kandidat dapat berkoalisi untuk memenuhi syarat sebagaimana yang ditetapkan.

Namun, sejak MK memutuskan Pileg dan Pilpres dilaksanakan serentak pada tahun 2019. Maka secara otomatis, tiket yang sudah terpakai tahun 2014 tidak bisa dipakai lagi. Karena pilihan masyarakat dari waktu ke waktu tentu berubah, misalnya tahun 2004, Golkar menang di Pileg. Tahun 2009 Demokrat, dan tahun 2014 PDI P. Belum tentu toh tahun 2019 PDI P menjadi jawara lagi. Tapi kenapa tiket 2014 yang dipakai?.

Hal itu yang membuat saya geli, kok bisa tiket yang telah dipakai bisa digunakan kembali. Sama artinya jika saya naik pesawat, dan tiket lama saya gunakan kembali. Berganti hari tentu berganti juga tiketnya. Ada-ada saja pemerintah ini, saya yang masih berstatus mahasiswa saja bisa paham logika sederhana ini.

Rasa heran saya semakin menjadi melihat kengototan pemerintah. Mereka bersama partai politik yang seide berusaha presidential threshold (PT) diangka 20 persen. Kenapa tidak dijadikan saja syaratnya 51 persen, biar hanya penguasa saja yang bisa mencalonkan diri.

20 persen itu angka menurut saya angka akal-akalan saja. Dengan memborong partai di DPR, penguasa telah membuat sulit kandidat lain untuk mencalonkan diri. Atau memang maunya calonnya tertentu atau mau calon tunggal saja. Saya bukan aktifis seperti Fadjroel Rachman yang lantang bersuara, eh itu dulu ya. Sekarang suara bung Fadjroel sudah lenyap ditelan kemewahan fasilitas BUMN. Saya hanya mahasiswa yang mencoba untuk kritis bersuara, tapi tidak berani turun ke jalan. Takut nanti ditangkap dengan dugaan  makar atau anti pancasila.

Jika mau disebut adil, seharusnya biarkan saja seluruh partai yang ikut pileg mendatangkan mencalonkan kandidat presidennya. Kenapa harus takut, bukankah pemerintah saat ini telah ada modal selama 5 tahun. Jika memang telah berbuat, maka rakyat akan dengan sendirinya memilih.

Seperti yang saya lihat ditelevisi, pengamat politik mengatakan semakin banyak kandidat yang maju maka semakin besar juga peluang incumbent menang. Nah, kenapa harus takut kalau kandidat banyak. Bukankah itu lebih menguntungkan?.

Atau pemerintah takut karena memang tidak berbuat apa-apa selama menjabat?. Tolonglah pak, biarkan kami tetap punya hak dalam memilih. Kenapa hak satu-satunya yang kami banggakan dirampas juga, hanya itu yang membuat kami merasa satu sederajat dengan para konglomerat yang melarikan duit negara tapi masih bebas.

sumber foto: Travel - IDN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun