Pendidikan yang memerdekakan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara bermakna bahwa pendidikan seharusnya dapat mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang merdeka, tanpa mengganggu kemerdekaan orang lain. Pendidikan hakikatnya dapat memberi pengalaman belajar bermakna dengan mengeksplor bakat dan minat peserta didik yang ingin dikembangkan.
Untuk mewujudkan pendidikan yang memerdekakan, seorang pendidik harus memperhatikan eksistensinya lebih dulu. Bagaimana mempersiapkan diri untuk memanusiakan manusia dan memfasilitasi pembelajaran yang berpihak pada peserta didik.Â
guru harus meningkatkan kesadaran diri dan berkomitmen melakukan perbaikan yang berkelanjutan dalam menyajikan pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Perbaikan yang berkelanjutan ini sebuah upaya yang dilakukan secara terus menerus untuk meningkatkan potensi-potensi yang dapat memberikan nilai tambah, mulai dari peningkatan kemampuan diri, perbaikan sebuah proses/teknik secara fungsional atau nilai.
Yang utamaYang kedua, membangun dan memperkuat keterampilan interpersonal. Seorang pendidik harus memiliki keterampilan interpersonal yang baik, yaitu kemampuan berkomunikasi dalam membangun hubungan dengan orang lain. Komunikasi di sini bukanlah semata memahami bagaimana berbicara secara verbal saja, akan tetapi mencakup komunikasi non-verbal seperti bagaimana melibatkan bahasa tubuh agar tetap stay cool saat menghadapi situasi genting. Dalam berkomunikasi ada aspek-aspek yang mesti diperhatikan pula, seperti aspek keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif, dan kesetaraan.
Berikutnya, memiliki kecerdasan emosional yang baik, seperti kemampuan mengenali perasaan diri dan orang lain, memotivasi diri sendiri, dan mengelola emosi diri dengan baik dalam berhubungan dengan orang lain.
Melihat beberapa modal yang dibutuhkan guru dalam mewujudkan pendidikan yang memerdekakan, sungguh sangat tidak relevan lagi apabila guru menghadapi peserta didik yang usil dengan marah-marah, memberi ceramah panjang kali lebar, bahkan hingga memberi sanksi fisik berupa hukuman. Di mana hukuman yang diberikan pun tidak ada hubungannya dengan pembelajaran. Kondisi seperti ini sangat tidak sesuai dengan kodrat alam dan zaman yang dimiliki peserta didik sekarang. Mendidiklah secara kontekstual untuk mencapai masa depan anak, bukan malah kembali ke masa lalu guru.Â
Lalu bagaimana seharusnya menyikapi anak yang usil mengganggu temannya, berikan konsekuensi agar anak belajar bertanggung jawab atas sikapnya tersebut, dengan segera meminta maaf dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya.
Dengan demikian akan memudahkan guru mewujudkan pendidikan yang memerdekakan. Dalam hal ini seorang guru sebagai pemimpin pembelajaran yang akan mendorong lajunya gerbong menuju transformasi pendidikan.Â
Sebuah usaha terstruktur atau tidak terstruktur yang dilakukan untuk membuat perubahan positif dalam wujud praktik-praktik pendidikan dalam suatu ekosistem disebut transformasi pendidikan. Untuk mencapai percepatan transformasi pendidikan ini pemerintah merancang sebuah program Pendidikan Guru Penggerak sebagai wadah untuk melahirkan agen-agen perubahan di seluruh pelosok negeri yang disebut guru penggerak.Â
Selama menempuh Pendidikan Guru Penggerak (PGP), para Calon Guru Penggerak (CGP) akan difasilitasi oleh Pengajar Praktik (PP) dalam lokakarya dan pendampingan individu. Seorang PP akan memfasilitasi 5-6 orang CGP. Proses fasilitasi ini PP harus memperhatikan beberapa rambu agar berjalan sesuai harapan. Di antaranya memahami peran, memperhatikan sikap, dan mengerahkan seluruh keterampilan yang dimiliki.Â
Dalam memfasilitasi pertemuan, Pengajar Praktik perlu memiliki kompetensi dasar yang dibutuhkan untuk memandu jalannya pertemuan hingga tujuan tercapai. Kompetensi dasar tersebut adalah partisipasi, interaksi, visualisasi, dinamisasi, konklusi, dan merancang proses.