Pandemi sudah melewati masa 1,5 tahun. Beberapa daerah sudah mulai menerapkan kembali pembelajaran tatap muka secara terbatas.Â
Orang tua diberikan pilihan yang menurut mereka terbaik bagi anaknya. Adanya potensi learning lost menjadi salah satu pertimbangan untuk membuka sekolah kembali.Â
Buat saya pribadi, kebijakan membuka kelas luring adalah peluang untuk bisa menuju new normal yang sebenarnya.Â
Bukan tanpa sebab, saya menyambut baik adanya pilihan pergi ke sekolah. Meskipun belum penuh, momen belajar di sekolah bisa jadi cara anak untuk lepas dari gadgetnya sementara waktu.Â
Semakin banyak belajar daring, dengan Zoom misalnya, maka semakin banyak peluang juga anak bermain dengan si gadget di luar belajar.Â
Ibaratnya kalau anak angkatan sebelum pandemi mabal dengan kabur keluar kelas, anak angkatan ini membolos dengan keluar dari Zoom dan berlayar ke halaman lain, Google dan YouTube.
Berada dalam kelas daring memang sangat berbeda. Ada etika-etika berkumpul daring yang kemudian "disepakati" lebih sopan dan bisa dipakai oleh kelas, webinar, atau rapat daring.Â
Beberapa aturan tersebut, misalnya membuka kamera kecuali ada kendala teknis, minta izin jika ada keperluan meninggalkan kamera, tidak menuliskan sesuatu di luar tema bahasan pada kolom chat, mematikan mic ketika ada yang berbicara, menggunakan fitur angkat tangan jika ingin menjawab atau bertanya, dan sebagainya. Namun, namanya anak, mereka harus sering diingatkan karena belum terbiasa.
Euforia ber-gadget karena hampir semua anak terutama di kota besar, sudah punya telepon genggam sendiri.Â
Bagi yang sudah memilikinya sendiri, mereka biasanya juga sudah familiar dengan aplikasi-aplikasi yang sifatnya pertemanan, seperti Instagram dan WhatsApp. Beda konsepnya, kedua aplikasi tadi punya keunggulan masing-masing.