Mohon tunggu...
Sari Agustia
Sari Agustia Mohon Tunggu... Penulis - IRT, Penulis lepas

Tia, pangillan akrabnya, menekuni menulis sejak tahun 2013 sampai sekarang. Sebuah karyanya, novel Love Fate, terbit di Elex Media Komputindo pada tahun 2014. Saat ini aktif menulis bersama beberapa komunitas dan Indscript Creative

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Hari Katakan Iya di Keluarga: Hanya Dongeng atau Bisa Jadi Nyata?

5 Juni 2021   17:35 Diperbarui: 6 Juni 2021   01:16 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (desain pribadi)

Meskipun telat, saya masih menyimpan rasa tersendiri setelah selesai menonton film Yes Day, yang sudah tayang di Netflix sejak bulan Februari 2021. Film ini adalah film keluarga yang cocok menjadi tontonan keluarga di akhir pekan. Idealnya, anak yang ikut nonton sudah berusia 8 tahun ke atas, mulai beranjak remaja, dan punya konflik dengan bapak atau ibunya. Setelah menonton, mereka-mereka ini nantinya yang justru bisa diajak diskusi dan paham hikmah terkait film ini. Sebagai orang tua, selepas menonton, sebenarnya ada rasa penasaran saya kira-kira apakah Yes Day bisa berhasil di dunia nyata. 

 Saat awal film, saya sudah tersenyum sendiri bagai melihat cermin yang selalu berkata "Tidak!" pada sebagian besar keinginan anak. Alasannya semata karena sayang; tidak ingin anak susah, mendapat kesulitan seperti saya di masa muda, atau memang pada dasarnya overprotektif pada anak. Namun percayalah, setiap usia anak punya tantangan tersendiri bagi orang tuanya. Kalau sekarang anak Anda masih bayi, hanya perlunya minum ASI, maka masih lebih mudah dibandingkan punya anak hampir abege yang perlunya laptop dan jaringan internet untuk main game online.

Anak lahir tanpa buku panduan .

 Pada akhirnya, orang tua hanya berpatokan pada pengalaman masa kecil mereka dalam pengasuhan. Sayangnya, dunia berubah. Cara pandang anak dan orang tua berbeda, terutama bagi anak yang menginjak dewasa. Problematika inilah yang ingin diangkat oleh film tersebut. Bagaimana kemudian ada solusi yang bisa mengeratkan kembali ikatan keluarga, membuat anak menurut pada orang tua, dan tercipta pengertian di antara mereka. Misi mulia banget kan?

 Keseruan pun dimulai karena akhirnya solusi orang tuanya adalah memberikan satu hari penuh pada anak-anak mereka izin melakukan segala hal, apapun! Bisa dibayangkan betapa bahagianya anak mereka. Ketiga anaknya merancang berbagai agenda kegiatan keluarga penuh di hari itu, terbagi menjadi lima agenda besar. Namun, bukan tanpa syarat! Sebelum hari besar datang, anak-anak harus mengerjakan semua tugas  dan tes sekolah dengan baik. Mereka berhasil melalui tugas dan tes sehingga  hari yang ditunggu tiba. 

 Tanpa diduga, ternyata agenda yang mereka pilih seru semua. Saya pun tidak menduga pilihannya mereka bisa seseru itu. Meski ada bagian yang kurang masuk akal tentang baju basah yang kemudian langsung kering. Atau agenda aktivitas yang bisa seru melibatkan banyak orang tak terduga, tetapi secara keseluruhan semua pilihannya asyik dan hampir tak ada cela. Endingnya pun agak absurb buat saya. Bagaimana kerusakan yang sudah dibuat anak sedemikian besar tapi bisa orang tuanya masih bisa sabar karena memang ini masih yes day.  

Bukan film menarik kalau tak ada konflik. Sejak awal, konflik ibu vs anak gadis dibangun dengan sangat apik. Konflik nyata adanya dan keseharian banget. Makanya nih, kalau anak sudah menginjak abege pun pasti akan seperti layaknya melihat dirinya sendiri.  Film ini punya nilai baik. Sejatinya orang tua punya pandangan baik, tetapi sering kali eksekusinya kurang baik. Sehingga anak, yang tingkat pemahamannya hanya seusia tapi sudah merasa dewasa itu, menjadi kurang paham dan cenderung mudah marah jika dilarang. 

Saya jadi teringat satu guyonan yang pernah saya dengar.  

Seorang anak di usia berapa pun akan merasa sudah besar. Padahal mungkin masih piyik banget. Sedangkan orang tuanya yang pernah berada di usai itu sebelumnya menganggap remeh usia si anak. Padahal lagi nih, mereka saat di usia sama pun begitu adanya

Anak itu cerminan orang tua. Saya pun percaya itu. Sebab sebagai pengasuh, saya pun memasukkan nilai-nilai tertentu, memberi contoh, dan menganjurkan mereka mengikutinya. Jadi, jangan harap anak lakukan suatu hal sebelum Anda lakukan sendiri, meskipun hanya sesederhana menghabiskan makanan atau menaruh handuk di tempatnya selepas mandi.

 Menjawab penasaran apakah benar yes day akan bisa jadi solusi buat keluarga kami, ini jawabannya! Sebelum nonton bareng mereka, saya sudah menontonnya terlebih dahulu dan kemudian bertanya. Saya menebak dalam hati dulu apa permintaan mereka yang harus kami 'iya'kan. Sambil guyon saya bertanya, 

"Kalau ada kesempatan sehari menghabiskan waktu seharian dan ibu setujui, mau ngapain aja?"

 Anak-anak awalnya ketawa tak percaya apa yang mereka dengar. Sampai akhirnya yang sulung menjawab, "Mau main game seharian." 

Persis banget dengan yang saya sangkakan. Sebenarnya, hadiah main game seharian ini sudah pernah dia dapatkan juga saat selesai ujian sekolah kelulusan SD beberapa waktu lalu. Atas kerja kerasnya belajar, saya menghadiahinya main seharian, tidak pakai protes. Namun, jam salat dan makan tetap harus dilaksanakan.

Namun kemudian, kalau harus memberikan hal sama tersebut padanya saat yes day, saya  berpikir ulang. Apakah sebanding dengan kewajiban yang sudah dia lakukan? Apa dia sudah laksanakan semua tugasnya dengan baik? Apakah nilai memberikan hadiah ini akan bermanfaat untuknya? Apakah saya akan dapat nilai sama seperti dalam film?

Ilustrasi (desain pribadi)
Ilustrasi (desain pribadi)
Kembali kalau melihat goal dari film, maka keluarga jadi punya waktu bersama saat yes day. Bukan sebaliknya, anak malah punya waktu main game sendirian di depan gadgetnya. Ok, saya bisa berdalih bisa main game bersama, tapi apa bisa orang tua mendampinginya main 24 jam? Sedangkan, keinginan saya adalah menciptakan bonding di antara seluruh anggota keluarga. Karena itulah saya tidak yakin mampu.

 Selama pandemi, kami selalu bersama di rumah 24 jam. Waktu yang nyaris langka sebelumnya. Bersama dalam waktu lama memang sangat berat. Bosan membuat konflik mudah terjadi. Bukan hanya yes atau no, rasa saling memahami dan tenggang rasa antara kami perlu lebih longgar lagi. Percakapan dan negosiasi harus seimbang. Bukan anak dilihat sebagai lawan tapi kawan. Orang tua bukan untuk berdebat tapi bersahabat. Saya yakin belum sempurna juga, tapi berusaha ke arah sana.

Jadi, Anda siap terapkan yes day di keluarga?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun