Mohon tunggu...
Sari Azis
Sari Azis Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis. Alumnus Fisip Universitas Mulawarman Samarinda. LPTB Susan Budihardjo Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Poligami

22 Mei 2024   10:05 Diperbarui: 22 Mei 2024   10:08 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

"Saya menikah lagi karena sunah nabi." dusta Gamal.
"Jangan jual-jual nabi. Beda visi." Ania mengibas tangan. Geram.
"Kata siapa?!" pelotot Gamal, tak terima. Sialan nih, perempuan. Mengapa tahu triknya?
"Nabi menikahi isteri-isterinya untuk melindungi para janda dari mara bahaya. Bukan karena seks apalagi hura-hura!" berang Ania.
Huh! Memang ia tak tahu kisah nabi di jaman perang itu? Gamal keterlaluan.
"Nyebut, Ania. Nyebut! Dosa kamu bicara kotor." Gamal menguncang-guncang tubuh isterinya. Mencengkram erat kedua lengannya. “Ini ibadah bukan nafsu duniawi!”
“Yang kotor itu otakmu. Kau bahkan tega mengatasnamakan ibadah untuk membenarkan kekhilafanmu. Iling. Iling, mas!” Ania menepis cengkraman suaminya. Berjalan menuju pintu.
“Aku memang sedang berusaha beribadah menjalankan sunah nabi.” kejar Gamal.
"Jika kau menikah lagi untuk ibadah. Nikahi saja Mpok Atiek jangan nikahi model cantik itu! Dia masih dua puluhan awal masih muda dan bisa cari lelaki sebaya. Dia punya segalanya tak perlu perlindungan suami orang. Dia lebih baik cari suami lelaki bujangan saja!"
Brakkkkkk!
Ania membanting pintu. Tak perduli itu sudah tengah malam jam tidur. Tak perduli anak-anaknya terbangun. Bahkan tak perduli tetangga kiri kanan ikut terbangun. Nguping obrolan brengsek dirinya dan Gamal. Perduli setan!
Dahi Gamal sukses menubruk pintu yang dibanting isterinya. Ia usap dahi. Sedikit nyeri.
Malam itu pertengkaran mereka kian memanas di ruang makan. Saling lempar piring dan gelas. Tak perduli jeritan anak-anak dan teriakan panik para pembantu. Ania dan Gamal saling memaki dan melempari apa saja yang ada di dekat mereka. Ania bahkan nekad mengangkat kursi jati dan melemparkan ke arah suaminya. Perang ini bagaikan adegan film The War of the Roses antara Kathleen Turner dan Michael Douglas. Film Hollywood di era 80an yang dulu Ania tonton semasa remaja tak ia sangka akan dejavu iaalami. Walau tak sama namun pertengkaran antar pasangan suami isteri di film itu begitu dahsyat dan ia bersumpah tak akan sudi mengalami. Ya tuhan. Kini, ia alami. Sungguh menyiksa bertengkar seperti dua musuh di area gladiator.
“Ijahhhhh! Ambil ember!” perintah Ania. Seraya melempar kotak tisu ke Gamal.
Tergopoh Ijah melepas pelukan Mesa, anak majikannya yang ketakutan meringkuk di sudut ruang tamu. Ia berlari mengambil ember di dapur.
“Siniii!” bentak Ania, merebut ember merah yang disorong pembantunya.
Ijak berlari ke luar ruang makan. Ketakutan. Takut kena salah sasaran.
Brukkkkkkkk! Terdengar ember di lempar menimpa dinding.
Kalap Ania melempar ember sembarangan dengan tenaga sekuat Hulk sembari mengumpat. Gamal cekatan menghindar sembunyi di balik lemari. Ember terdampar di dinding. Terjatuh. Pecah di lantai. Kalap Ania mencari pisau. Ia lempar kesetanan. Menangis menyayat malam menjelang subuh. Sungguh tak menyangka akan diselingkuhi suami yang iabanggakan.
“Aku tidak mau dimadu! Ceraikan akuuu!” teriaknya, histeris.
“Aku tidak mau bercerai. Aku mencintai dirimu dan anak-anak kita!” tepis Gamal.
“Kalau kau mencintai kami, kau tak akan tega menikah lagi!”
Ania tak rela dimadu. Tak akan pernah ikhlas. Walau gombalan Gamal setinggi langit bilang mau bersikap adil, ia tak percaya. Sudah banyak pengalaman orang-orang dipoligami. Ujung-ujungnya hanya isteri mudalah yang paling diutamakan. Isteri tua endingnya ditendang!
Berminggu-minggu kemudian.
Usai makan malam. Usai sekotak kalung berlian diselipkan di bawah sofa. Saat Ania berbunga-bunga karena rumah tangganya terselamatkan dari poligami. Saat pertengkaran demi pertengkaran membuat anak-anaknya ketakutan dan mengadu pada kedua orang tuanya. Saat mertuanya menjamin Gamal tak akan menikah lagi. Saat Pak RT mendamaikan mereka lewat surat perjanjian tak akan membuat gaduh komplek perumahan lagi dengan keributan. Dan…….
“Baik. Jika kau tak setuju jangan salahkan aku jika berzinah. Kau tanggung dosanya!” Gamal tiba-tiba berucap fatal.
Ania terpana. Tak jadi menyuap nastar. Menelan ludah. Matanya membelalak. Syok.
“Aku tidak mau menikah siri. Aku mau menikah resmi. Jika menikah baik-baik kau tak setuju lebih baik aku kumpul kebo saja dengan Lola!”
“Masssssss?!” air mata Ania meleleh. Ia pandangi kalung berlian di lehernya. Ini?
Laki-laki kalau sudah butuh variasi tak perduli apa-apa lagi bahkan berani menjual dogma agama untuk pembenaran diri. Berani menyebut-nyebut nabi untuk membenarkan keputusannya sendiri. Tapi pernahkah mereka membenarkan hati isteri yang tersakiti? Yang mereka benarkan adalah legalisasi syahwat untuk melindungi nafsu liarnya. Lebih baik menikah lagi. Halal daripada zinah. Maksiat. Nah! Jika sudah begitu bagaimana seorang isteri yang nyaris dipoligami akan berani menolak lagi? Ketika seorang muslimah melewati ijab kabul ketika itu pula ia berpindah hak milik dari orang tua ke suami. Dan wajib mengikuti iman rumah tangga termasuk jika suami suruh nyebur got atau masuk tong sampah atau kerja sosial menolong sesama. Ehem....menolong sesama ini artinya ikhlas menerima sesama wanita lain masuk dalam pernikahan. Rela dimadu. Wanita baru itu tentunya lebih segala-galanya dari wanita lama. Berbeda. Itulah gunanya menikah lagi mencari variasi isteri. Gamal memahami ini ketika ia memutuskan poligami. Ia butuh isteri baru yang bertolak belakang dengan Ania, isterinya. Tidak jelek, tidak otoriter, tidak rakus, tidak gendut, tidak serakah. Lola memenuhi semua persyaratan. Langsing, muda, cantik, makannya sedikit, tidak matre, tidak galak, cerdas (Ania bodoh tapi sok pintar). Itulah gunanya poligami variasi isteri. Jika di isteri pertama kau banyak kecewa maka itu akan tersembuhkan di isteri kedua. Jika isteri tua misuh-misuh kau bisa lari ke isteri muda untuk disayang-sayang. Hidup ini kan, untuk berbagi kasih sayang bukan berbagi omelan.
Akhirnya Ania mengijinkan suaminya menikah lagi. Menangis saat mengantarkan Gamal akad nikah. Air matanya sudah membanjir saat menanda tangani surat ijin untuk suaminya menikahi Lola. Walau begitu ia tak tinggal diam dan pasrah. Ia sudah mengajukan berbagai syarat yang sudah dipenuhi Gamal dan Lola. Seminggu waktu Gamal lima hari di rumahnya dan dua hari di rumah Lola. Gamal wajib tinggal di rumah Ania dari senin sampai jumat. Giliran Lola sabtu minggu. Gamal punya kewajiban baru mengantar sekolah anak-anaknya sebagai tanggung jawab seorang ayah menggantikan Soleh, supir mereka yang beralih tugas hanya menjemput Mesa, Inggit, dan Ronan. Tak cukup sampai di situ. Gamal hanya boleh membelikan Lola rumah yang tipenya di bawah rumah mereka dan mobil yang harganya dibawah harga mobil Ania. Uang belanja Lola juga dibawah uang belanja Ania. Alasannya sederhana, Ania tidak bekerja dan anaknya tiga sedangkan Lola bekerja dan belum punya anak.
Waktu terus bergulir. Tak terasa Gamal sudah dua tahun menjalani poligami. Beristeri dua. Ia bahagia tapi juga sesekali menderita. Jika ia harus berbagi waktu yang membuatnya kadang kelimpungan karena bolak-balik menginap secara adil di rumah masing-masing isteri. Jika ia lupa maka kedua isterinya akan protes. Misalkan senin jatah tinggal di rumah Ania, eh, ia malah masih tidur di rumah Lola. Ania pasti akan telepon menyuruhnya pulang. Begitu pula sebaliknya jika ia sabtu di rumah Ania, maka Lola akan telepon menanyakan kapan ia pulang? Walau begitu isteri mudanya tak pernah menghardik apalagi melempari Gamal sandal jika merajuk. Lola memang manis fisik dan hati. Mengalah selalu pada Ania. Tak sekalipun kedua isterinya bertengkar. Lola tak kunjung hamil. Menurut dokter ada masalah di kandungan isteri mudanya itu. Lola harus terapi hormon ke Singapura.
Dan………
“Saya janda satu anak.” Olita tersipu.
“Oh ya? Kamu nggak kelihatan seperti janda. Saya kira kamu masih lajang.” gombal Gamal, binal. Matanya nakal menatap Olita.
Sekretaris barunya sungguh meruntuhkan iman. Bohai. Ibarat artis, bodinya sesemok Zaskia Gotik. Dadanya membuncah bak dada Jupe. Hidungnya mancung imut ibarat hidung Arumi Baschin. Rambutnya panjang tergerai sepunggung ibarat rambut Anggun di iklan sampo. Pendek kata nilainya sembilan. Lelaki mana yang tega membiarkan wanita seperti ini menjanda? Sungguh idiot mantan suaminya. Cibir Gamal, dalam hati. Baiklah aku akan jadi pelindungnya!
Dua bulan kemudian.
“Menikah lagi?!” jerit Ania, tertahan. Tercekik. Membelalak mata.
Gamal mengangguk. Pura-pura lunglai.
“Olita terlanjur hamil, Nia.” kilahnya, lemah.
Ania terduduk. Lemas.
“Dua isteri apa belum cukup, mas?” lirihnya. Ia sudah tak bisa marah. Tak bisa menangis.
“Maaf.”
“Masak khilaf berkali-kali? Ini fatal sudah zinah. Mana ibadah yang kamu agung-agungkan itu?” lirik Ania, sadis. Memeluk bantal.
Gamal tertunduk. “Maaf.”
“Daripada ikut berdosa. Aku pasrah.” Ania menggigit bibir menahan tangis.
Suka tidak suka Ania terpaksa mengijinkan. Ia hanya berpesan agar suaminya meminta ijin Lola juga. Karena isterinya sekarang dua bukan dirinya saja. Dulu ia sakit hati pada Lola. Berdoa agar kelak madunya diceraikan suaminya karena mandul. Tapi kini, Ania justru iba. Gamal buaya darat. Seiring naik karirnya di perusahaan asing seiring itu pula naik syahwatnya. Poligami hanya tamengnya saja. Agama dijadikan dagelan nggak lucu. Ironis. Ania kecewa.
“Ini baru isteri jaminan surga!” girang Gamal, memeluk Ania.
“Jika seorang isteri harus patuh pada suami, haruskah ia mematuhi semuanya walau itu mungkin sesuatu yang salah?” tanya Ania. Melepas pelukan suaminya.
“Aku janji ini yang terakhir aku menikah lagi. Cukup tiga isteri.” Gamal tak mau melepas pelukan Ania. Isterinya yang galak sudah lama berubah jinak. Makanan empuk.
“Bukannya batasnya sampai empat?” sindir Ania.
“Hehehe….Tiga isteri cukup, Nia!” cetus Gamal, bak iklan KB dua anak cukup.
Ania menangis dalam pelukan suaminya.
Keesokan harinya.
“Mbak, saya nggak siap dipoligami.” isak Lola, dalam pelukan madunya.
“Lho? Bukannya selama ini kamu sudah dipoligami, La?” Ania mengusap jilbab Lola. Tersenyum kecut. Mempoligami dengan dipoligami itu memang berbeda arti dan rasanya.
“Iya tapi hanya berdua Mbak Ania saja. Saya ikhlas. Kalau dipoligami dengan isteri baru lagi saya nggak siap, mbak?” Lola melepas pelukannya. Memandang Ania dengan pilu.
Siang itu Lola mendatangi rumah Ania. Ini mungkin kunjungan ketiga atau keempat. Ia segan sebenarnya. Merasa bersalah sudah merebut suami wanita yang ternyata berhati mulia.
“Siap nggak siap kamu harus siap, La. Inilah takdir. Inilah kenyataan.”
Lola menangis sesunggukan. Menyedot ingus. Hidungnya memerah.
“Saya. Saya. Sayaaa….” Lola tersekat. “Saya masih menjalani terapi di Singapura, mbak. Bukan berarti saya ini belum bisa memberi keturunan pada Mas Gamal.”
Entah alasan apalagi yang disampaikan Gamal pada Lola. Ania tak tahu. Masak alasan belum dikaruniai keturunan? Menikah saja baru dua tahun. Gamal memang picik. Licik. Buas. Srigala berbulu merak. Manis di bibir pahit diotak. Jahatnya melebihi Hannibal Lecter. Psikopat dalam film Silent of The Lamb. Tapi itulah lelaki yang mereka nikahi. Dia lelaki. Dia pemimpin dalam rumah tangga dialah yang menentukan. Sebagai isteri kita mengikuti suka tak suka.
“Dia bilang karena saya mandul dia menikah lagi. Dan perempuan itu terlanjur hamil dua minggu. Hiks.” isak Lola. “Saya minta cerai, mbak.”
Ania terperanjat. “Mengapa?!”
“Saya tidak mau ditigakan. Jika diduakan saja sudah berat apalagi ditigakan. Saya masih muda. Saya bisa menikah lagi. Toh, kami belum dikaruniai anak. “
Ania memeluk Lola. Mereka saling bertangis-tangisan.
“Mbak Ania mengapa nggak minta cerai saja? Jangan mau disakiti melulu!”
“Aku nggak bisa bercerai, Lola. Aku menggantungkan hidup pada Gamal. Anak-anak butuh bapak ibunya hidup bersama walau harus berbagi dengan yang lain.” Ania menunduk.
“Mbak, poligami itu berat. Saya sudah merasakan. Saya insyaf. Saya nggak sanggup.”
Ania tertawa getir.
“Bagi saya poligami itu sekumpulan sapi betina di kandang sapi jantan!” sinis Lola.
Ya. Kita-kita para isteri ini hanya sapi betina yang meringkuk dalam belaian sapi jantan dalam satu kandang. Kita tak bisa berbuat apa-apa karena kandang itu milik sapi jantan. Tak hanya kandangnya juga rumput dan air sungainya. Kita menumpang hidup pada sapi jantan. Ania mengamini dalam hati. Meratapi nasib dipoligami.
“Mbak isteri solehah karena mbak ikhlas digiring Mas Gamal ke mana saja walau itu menyakitkan Mbak Ania ikhlas. Semoga kelak Mas Gamal insyaf.” Tulus Lola menggenggam jemari Ania. “Maafkan saya sudah menciptakan kebodohan ini. Maafkan, ya, mbak?”
“Aku sapi betina yang manis, Lola! Hahaha.” Ania terbahak. Pahit. Meratap dalam hati.
Apapun namanya mau sapi, kambing, onta, kucing. Inilah pilihan hidup. Jika berpoligami itulah yang terbaik. Jika tidak pilihlah jalan lain. Jika ia tetap bersikukuh berpoligami karena Ania tak punya pilihan lain yang lebih baik. Jika Lola memilih pensiun jadi sapi betina di kandang sapi jantan Gamal, itu juga pilihan yang wajib Ania hargai. Baginya menikah adalah ibadah bukan lagi sekedar cinta dan hak milik. Sejak Gamal memutuskan berpoligami, Ania banyak merenung. Intropeksi diri. Baginya semua ini adalah kehidupan yang hanya sesaat yang tak akan mengurangi ibadahnya pada tuhan. Apapun kata orang tentang model pernikahan yang iajalani inilah yang iayakini. Ia pilih.
“Kau, hanya terlalu cinta tanpa batas padanya, mbak. Cinta yang besar hingga kau rela dimadu. Rela dipermalu. Cinta yang seharusnya dihargai suamimu.” Lola memeluk Ania.
“Cinta yang seharusnya hanya kuberikan pada Allah. Hehehe….” Ania tertawa getir.
Tak lama Lola pamit pulang. Mengusap air mata sebelum masuk ke mobil. Respek pada Ania. Sulit mencari wanita seperti madunya itu di jaman yang sudah morat marit moralitas dan miskin nurani ini. Lola belajar banyak tentang cinta dan kehidupan hari ini. Semoga kelak tak mengulangi kesalahan lagi, menyakiti wanita berhati baik seperti Ania. Poligami itu ujian mental ujian keyakinan akan pilihan. Ujian untuk berani menerima kenyataan yang tak mutlak dalam sebuah pernikahan. Pada akhirnya manusia memang harus berserah diri pada Allah Swt. Cinta padaNya adalah cinta yang paling mulia bukan cinta pada sesama yang bisa membinasakan diri.

A lady's imagination is very rapid; it jumps from admiration to love, from love to matrimony in a moment. (Jane Austen)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun