Hari ini salah satu sastrawan besar Indonesia, Gerson Poyk wafat. Sedih. Saya tak mengenal beliau secara langsung namun saya adalah penikmat karya beliau. Cerpen pertama Gerson Poyk yang saya baca saat kecil di era 80 an adalah sebuah cerpen yang mengisahkan pernikahan seorang veteran perang dengan anak sahabatnya sesama tentara yang semasa bayi iagendong. tema yang unik dan tak biasa tapi ditulis dengan sederhana dan asyik. Anak kecil saya yang belum lulus SD saja mengerti alur cerita yang beliau sajakah. saking terkesannya cerpen tersebut sampai puluhan tahun masih nyantol di kepala.
Kekuatan Gerson Poyk dalam berkarya adalah tata bahasa yang santun dengan tehnik menulis yang indah tapi random. Ada ketegasan dalam setiap kata yang dipilih. Saya suka. Dalam cerpen Kipas Cendana yang di muat di Kompas, beliau mengisahkan kehidupan seorang lelaki tua yang optimis dalam ketidakmampuan. Masih dengan gaya bertutur yang sama mengalir bagai air namun tegas. Â Cerpen-cerpen beliau selalu menghasilkan ending yang tak terduga. Kita seperti diajak naik kereta yang jalannya lurus saja. Berhenti di stasiun. Kemudian kita tak tahu mau menuju ke mana. Tiba-tiba kita melohat warung nasi. Ke sanalah kita menuju tanpa rencana. Seperti itu kira-kira yang saya tangkap dari cerpen Gerson Poyk.Â
Sastrawan asli NTT ini sudah melanglang buana keliling dunia berkat kesuksesannya sebagai sastrawan terdepan Indonesia. Setahun atau dua tahun lalu beredar kabar beliau menderita sakit hingga hari ini beliau tutup usia. Anda memang telah tiada, pak namun karya anda akan terus ada. Anda sudah memberi warna dan pelajaran bagi penerus anda. Selamat jalan Gerson Poyk. Semoga surga yang terindha menjadi peraduanmu selanjutnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H