Aku putri dari Dayu Datu janda dari dusun Butuh desa Girah Kediri. Tujuh hari lalu Gung Biyang begitu aku menyebutnya tewas dalam pertempuran melawan mpu Baradah.
Kadang aku bertanya dalam hati, apakah salah Gung Biyang sehingga semua orang membencinya. Dan itu semua berimbas padaku sehingga di usiaku yang ke duapuluh lima tahun, tak seorang lelaki pun meminangku. Mereka menganggap aku mempunyai ilmu teluh sama seperti Gung Biyang yang dihakimi sebagai penyihir jahat.
Ya! Memang Gung Biyangku pemuja Dewi Durga. Dan mereka menganggap Gung Biyang menganut ilmu ngiwa. Sebagai janda, Gung Biyang hanya melindungi dirinya dan aku putrinya. Bukankah adat menempatkan kami kaum perempuan, apalagi yang berstatus janda ditingkatan nomer dua? Yang Gung Biyang lakukan selama ini hanya mempertahankan harga diri dari tatapan sinis merendahkan yang jelas terpancar dari mata mereka.
Bagiku, Gung Biyang tidak bersalah dan tidak pernah bersalah! Bahkan saat Gung Biyang membakar hidup-hidup lelaki yang melecehkanku, beliau tidak bersalah. Mereka tidak akan pernah dan tidak mau tahu, demi kebahagiaanku Gung Biyang rela melakukan apapun. Demi melihatku menikah, Gung Biyang menerima Bahula sebagai suamiku. Sekalipun dengan kesaktiannya, Gung Biyang tahu akan di khianati. Beliau tetap menerima Bahula sebagai suamiku. Karena aib bagi perempuan yang tidak menikah.
Bahkan saat Bahula mencuri kitab mantra yang merupakan rahasia kesaktiaanya, demi aku Ging Biyang menahan kemarahannya. Lalu mengapa Mpu Baradah setelah tahu kelemahan beliau, menolak meruwat Gung Biyang dengan alasan dosa beliau lebih besar dari gunung Agung. Bukankah Gung Biyang bersedia bertobat? Atau mereka yang tidak menginginkan Gung Biyangku bertobat. Ibuku, Gung Biyangku, Dayu Datu, atau lebih terkenal dengan nama Calon Arang tewas di tangan guru suamiku tanpa sempat bertobat.
Ibu... Gung Biyang... Aku lelah memikirkan semua ini! Aku berbaring di pangkuanmu sekali lagi, sama ketika aku kecil dulu. Mendengarkanmu melagukan puja pada Sang Dewi Durga. Dan merasakan belaian tanganmu di rambutku, serta usapanmu dikepalaku hingga aku tertidur berbantal pahamu. Apapun yang mereka citrakan padamu Gung Biyang, engkau tetap ibu terbaik bagiku.
#poeds
Ilmu ngiwa >> ilmu aliran kiri/ilmu hitam (bahasa Bali)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H