Namaku Menur, perempuan modern yang masih memegang teguh adat Jawa. Ya, aku terlahir sebagai perempuan Jawa, tepatnya aku terlahir sebagai putri Solo, kota yang penuh keistimewaan. Rama dan ibuku adalah abdi dalem di Pura Mangkunegaran. Dan aku adalah perempuan satu-satunya, penengah dari tiga bersaudara. Sendhang kapit pancuran, begitu mereka menyebut kondisi persaudaraan kami yang harus di ruwat supaya tidak dimangsa Bathara Kala.
Namaku Menur, aku lahir di hari Selasa Pon, di naungi Dewa Kala yang menitiskan sifat pemarah dalam darahku. Di lengkapi karangan yang "ngrejeki" dan sanggan waringin yang memberi keteduhan pada setiap orang yang ada di sekitarku. Aku perempuan modern, yang memiliki rahsa Satriya wibawa namun ber aras pepet yang sering tertimpa kesialan.
Awalnya aku tidak mempercayai hal-hal takhyul seperti itu sampai usiaku yang ke dua puluh tiga. Yaitu saat aku menikah untuk pertama kalinya. Sehari sebelum ijab kabul saat prosesi siraman, budhe Sri dujun manten begitu kami menyebutnya terpekik tertahan saat aku membuka baju dan mengganti dengan jarik motif sido luhur yang akan kupakai saat siraman selepas Ashar.
"Kamu yakin mau menikah, Nduk?" tanya budhe Sri mengejutkanku.
Aku menatap budhe Sri dengan heran, " Lho memangnya kenapa, Budhe?" tanyaku.
" Ora... Ora papa, Nduk! Nanti kamu akan tahu sendiri kenapa aku bertanya seperti ini!" sergah budhe Sri menutupi sesuatu yang penting dariku.
Prosesi siraman berjalan dengan lancar, diteruskan dengan malam midodareni. Yaitu malam di mana seribu bidadari meminjamkan kecantikannya kepada calon pengantin agar tampak manglingi. Benar, kata teman-teman sekantorku aku tampak seperti perempuan sejati karena sehari-hari hampir tidak pernah berdandan.
Keesokan harinya selesai ijab kabul dan resepsi sederhana di pelataran rumah kami, aku dan mas Priyo suamiku masuk ke kamar penganten yang di siapkan keluargaku sejak seminggu yang sebelumnya. Mas Priyo segera menerkam ku seolah tak sabar untuk memakanku bulat-bulat. Aku pun tenggelam dalam birahi yang menggairahkan sampai suamiku itu berteriak panjang sambil memegangi selangkangannya. Wajahnya membiru dan busa muncul di sudut-sudut bibirnya. Aku terpana melihat suamiku yang kesakitan tanpa kutahu sebabnya dan rebah tak sadarkan diri.
Aku terbangun saat malam mulai menua, ibuku dan ibu mertuaku berada di samping ranjang pengantinku yang kusut bekas aku bergumul dengan mas Priyo. Mata mereka tampak sembab, dan sesekalimenyeka sudut matanya yang terus membasah. "Sing sareh ya, Nduk!" kata ibu sambil lagi-lagi menyeka matanya.
Namaku Menur, aku menjadi janda di malam pertama pernikahanku. Empat puluh hari setelah kejadian yang sepakat di tutupi dari tetangga kiri kanan, keluarga mengatakan mas Priyo meninggal karena serangan jantung, aku dikirim Rama dan ibu ke Singaraja, ke tempat bibi Sulikah tinggal untuk melupakan duka di malam naas itu.
Tapi usaha mereka sia-sia, aku terus teringat kejadian malam itu. Bagaimana tidak? Karena tidak kerasan di Singaraja aku hijrah ke Denpasar dan mencari pekerjaan di kota yang ramai itu. Aku berkenalan dengan James, pria New Zeland yang sangat baik. Dan kalian tahu,James mati di malam dia menelanjangiku dengan nafsu yang menggebu dengan cara yang sama dengan mas Priyo meninggal, tanpa sempat menyetubuhiku. Sesudah itu berturut-turut mas Suko juragan bakso Malang, Wayan Ari tan kerjaku di hotel dan Danny Lau pria Taiwan juga mati dalam puncak nafsunya di kamar yang sama denganku.