"Nanti malam selepas Isya akan ada perkenalan dengan Ibu di balai kampung, silakan Ibu beristirahat dulu sambil menunggu Mbak Parti, asisten Ibu datang. Dia sudah tinggal sendiri sejak suaminya meninggal dan sebelumnya bekerja pada saya." ujar Pak Heru.
Siska menganggukkan kepala seraya tersenyum. Dia memasuki rumah dinas danendapati perabot kuno tapi bersih dan cat dinding yang baru, aromanya masih sedikit menyengat.
"Mari masuk dulu, Pak!" serunya pada Heru yang berdiri di teras.
"Nggak usah, Bu. Saya pulang saja agar Ibu dapat beristirahat, besok pasti sudah sangat sibuk." sahut Heru.
***
Tak terasa sudah enam bulan Siska bertugas di dusun Pandan. Hatinya miris melihat fenomena anak-anak perempuan yang tidak bersekolah karena kendala ekonomi. Beberapa waktu lalu dia mengkonsultasikan pada Pak Bayan untuk membuka sekolah darurat yang tidak berbayar. Waktu belajarnya sore hari selepas Ashar sampai menjelang Magrib. Tapi ternyata tidak mudah mengalahkan paradigma penduduk yang menganggap pendidikan buat anak perempuan sangat tidak penting. Toh mereka juga akan menjadi ibu rumah tangga saja.
Siska juga bekerja sama dengan tim penggerak PKK untuk memberikan pelatihan ketrampilan pada ibu-ibu untuk menambah penghasilan keluarga. Tapi lagi-lagi kendala yang dialaminya berasal dari kaum bapak yang merasa dirampas superioritasnya atas keluarga. Hingga satu saat Siska digelandang ke Balai Kampung untuk dihakimi.
Satu persatu bapak-bapak mengutarakan keberatan dengan adanya jam belajar dan pelatihan ketrampilan yang diadakan Siska.
"Sekarang istri saya lebih sering memegang jarum daripada mijitin saya!" teriak mas Bono lantang dan diamini seluruh bapak.
"Rumah saya isinya potongan-potongan kain nggak berharga, apalagi anak saya jadi malas nyari rumput buat pakan kambing," timpal Lik Warto.
"Tugas Bu Siska itu dokter, nggak usah merembet sok jadi guru!" seru Pakdhe Roso.