"Abeb!" seru Yani menghentikan langkah Abeb yang baru pulang kuliah siang ini.
"Apa to, Mbak? Mbok ndak usah teriak-teriak, ada apa sih? Buruan, aku sudah mau pingsan kelaparan nih!" gerutu pemuda di awal duapuluhan itu.
"Makan aja dalam pikiranmu to, Lee!" sahut Yani menoyor dahi adik bungsunya itu, "ada kabar dari Nunuk nggak? Sudah tiga minggu dia pergi nggak sekalipun meneleponku."
Abeb memonyongkan bibirnya, "Ealah, Mbak ..., mbok ya nanti tanyanya! Menganggu keasyikan cacing-cacing di perutku berdemo saja!"
Abeb berlalu tanpa mengindahkan pertanyaan yang dilontarkan kakaknya, langkah nya menuju dapur. Sementara Yani mengikuti adiknya menuju dapur.
"Heh! Cuci tangan dulu, kebiasaan banget aih, datang daria mana mana nyomot makanan!" tegur Yani saat melihat Abeb mengulurkan tangan hendak mengambil tempe dari lemari makan.
Abeb meringis, dengan cepat dia membasuh tangannya kemudian menyendok nasi. Yani menunggui dengan tidak sabar, sedang Abeb berlama-lama menyuapkan nasi.
"Beb, Nunuk nggak kasih kabar? Jangan sembunyikan apapun dariku, aku mbakyumu lho!"
Abeb meraih gelas berisi air putih, menenggak isinya hingga tandas.
"Mbak Nunuk baik-baik saja, dia menitipkan salam untukmu."
"Dia di mana?"