"Nak, lipatlah dahulu perutmu!" pinta ibu berbaju biru berhias benang ungu yang melekatkan kain blacu atas koyak berjumlah seribu.
Si kecil berkepang dua tanpa pita itu tersenyum menahan perih yang terus merajam lambung tanpa jeda. Matanya menatap penuh harap pada kaleng kosong di pangkuan.
"Aku lupa kapan terakhir perutku terlihat lucu seperti Winnie the Pooh, Mak! Tapi aku tak kan pernah lupa hujan cinta yang kau curahkan, dengan sederhana."
Di seberang jalan seorang pemangku mengelus buncit perut serupa bola dunia yang tertelan Bathara Ismaya. Mulutnya menebar harum janji-janji pembeli harga diri.
"Tuan ..., Tuan! Bagi sedikit rotimu!" serak suara ibu berbaju biru mengadukan kelaparan yang kuat mengikat gala.
Tuan pemangku berhasrat menjadi aparat sunggingkan senyum keparat dan melempar sekerat daging, bekas tergigit dari sela taringnya ; buas.
Melenggang Sang Tuan meninggalkan binar mata sudra seraya menarik jempol ibu, yang membawanya ke dalam gedung terhormat.
"Sampai kapan, Mak? Sampai kapan kita mengemis pada penguasa bermata khianat?" polos tanya bocah tanpa asa.
"Entahlah, Nak! Entahlah! Hanya percayalah setiap tangis para sudra tak kan berakhir sia-sia!"
#poeds 270718
karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event HUT Admin RTC