Mohon tunggu...
Sari Musdar
Sari Musdar Mohon Tunggu... -

Penulis buku travel dan novel best seller 'Cinderella In Paris. Praktisi Manajemen SDM yang juga Trainer Google Certified untuk Digital Marketing. Saat ini Training Specialist di Market Place untuk pariwisata Motto : Melalui teknologi memberikan dampak bagi komunitas dengan pemberdayaan. about.me/sarimusdar

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Belitung Timur, “The Rising Beauty of The Rainbow”

5 Oktober 2014   08:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:19 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah mendengar kutipan berikut, “Kekayaan sebuah bangsa adalah manusianya bukan sumber daya alamnya”? Kutipan bijak yang sering diucapkan Pak Anies Baswedan tersebut, nampaknya dipahami dengan baik oleh Pemerintah Kabupaten Belitung Timur. Jika daerah-daerah lain masih fokus pada eksploitasi kekayaan alamnya dan cenderung pasif menarik wisatawan ke daerahnya, Belitung Timur bisa dikatakan beberapa langkah lebih maju. Apalagi untuk ukuran pemerintahan tingkat Kabupaten, usaha PEMDA Belitung Timur untuk memajukan daerahnya patut diacungi jempol. Ibarat seorang gadis, Belitung Timur adalah perempuan yang sedang belajar bersolek tanpa kehilangan jati diri dan terlihat menor. Belitung Timur tahu pasti potensi yang dimiliki, baik kelebihan dan kekurangannya serta tantangan yang mereka hadapi, dan walaupun ingin mengembangkan pariwisatanya, Bupati Belitung Timur tidak ingin Belitung seperti Bali, pulau yang  mulai didominasi budaya barat yang dibawa wisatawan asing. Masih ingat film/ novel Laskar Pelangi yang terkenal dan sangat menggugah jutaan orang Indonesia? Masih ingat kerusakan alam yang disebabkan dari penambangan timah di novel yang ditulis dengan apik oleh Andrea Hirata? Pemerintah Daerah Belitung Timur, dr. Basuri Tjahaja Purnama dan timnya menyadari untuk memajukan dan memakmurkan warga Belitung Timur, mereka tidak bisa terus terusan membiarkan penggalian tanah-tanah di sana untuk mendapatkan timah dan kaolin yang kemudian meninggalkan jejak lubang-lubang besar dan setelah beberapa tahun berubah menjadi kolam menyerupai danau kecil. Seperti kutipan bijak di atas, Pak Basuri menyadari untuk membangun dan memajukan daerah Belitung Timur hal pertama yang harus disiapkan dan dibangun adalah manusia Belitung Timur. Pemda Belitung Timur antara lain telah memberikan beasiswa kepada pemuda-pemudi yang cerdas untuk kuliah di PTN supaya mereka siap membangun tanah kelahiran mereka. Selain itu ada banyak rencana pembangunan seperti konservasi lahan bekas tambang, penggunaan tanah untuk kebun kelapa sawit yang diupayakan lebih memakmurkan rakyat dan bukan perusahaan perkebunan. Di bidang pariwisata, sadar pulau ini menjadi terkenal karena pamor novel “Laskar Pelangi”, PEMDA Belitung Timur menggunakan momentum tersebut dan lebih menjual kekayaan dan kearifan budaya Belitung. Hal ini dapat dilihat dari program wisata yang ditawarkan ke wisatawan yang ingin menghabiskan liburan di Belitung Timur. Setidaknya itu yang saya lihat setelah menikmati Belitung Timur selama 4 hari 3 malam. Tanggal 22 hingga 25 September saya dan 36 peserta dari Jakarta, dan kota-kota di Jawa mendapat kesempatan untuk mengenal Belitung Timur lebih dekat dan personal. Acara “Tour de Beltim 2014” ini diprakarsai Dinas Pariwisata Belitung Timur yang menunjuk Belanger yang dikomandoi laki-laki muda yang akrab dipanggil Kokoh Hans sebagai panitia pelaksana. Program ini merupakan upaya kreatif PEMDA Belitung Timur untuk mempromosikan pariwisata mereka dengan aktif mengundang blogger, penulis dan wartawan untuk mengenal lebih dekat dan personal Belitung Timur yang diharapkan dapat membantu mempromosikan wisata melalui media sosial. Selama 4 hari 3 malam kami mengikuti program yang cukup padat dan lengkap untuk melihat Belitung Timur dari dekat terutama pariwisatanya ditemani pemandu wisata yang sangat paham sejarah, budaya dan wisata Belitung Timur, Mas Syarif. Berikut adalah kesan saya selama mengikuti program “Tour de Beltim 2014” yang diberi tema “The rising beauty of the rainbow” Hari Pertama, 22 September 2014 Nasi Simpor Setelah tiba di Bandara Hanianjoeddin di tengah terik matahari, kami dibawa dengan bis melewati jalan mulus menuju Desa Bangek. Di sini perut lapar kami dimanja oleh nasi simpor, nasi dengan menu ayam ketumbar (dan nanas), ikan cempedik bumbu pedas (seperti teri) dan sayur daun iding-iding yang dibungkus rapi dengan daun Simpor. Di lokasi ini terdapat tiga rumah panggung yang terbuat dari kayu yang diisi pengrajin terindak (topi petani), boneka dan tikar lais. Pengrajin Terindak Bis kembali menekuri jalan mulus menuju Kecamatan Gantung untuk melihat Rumah keluarga Ahok yang di sampingnya terdapat Gallery Batik Simpor Gantung yang menawarkan pelatihan canting batik khas Belitung Timur. Di sini peserta diajarkan melalui praktek membuat batik dengan motif khas Belitung Timur, seperti daun simpor dan ikan cempedik yang memang hanya ada di Pulau Belitung, terutama Belitung Timur. Anda mungkin kaget kenapa ada batik di Belitung Timur? Batik Simpor Gantung menurut saya adalah upaya kreatif PEMDA Belitung Timur untuk meningkatkan pariwisata mereka dengan menciptakan sesuatu yang menjadi ciri khas Belitung Timur. Terkadang untuk memajukan dan menjual wisata, kita tidak bisa hanya berpangku tangan karena tidak ada kesenian yang khas atau hanya terpaku pada kekayaan dan keindahan alam. Kadang-kadang diperlukan kecerdasan kita untuk membuat daya tarik baru. Untuk menciptakan Batik Simpor pun bukan hal mudah bagi Belitung Timur, karena mereka harus mengirim banyak orang ke Jawa Tengah untuk belajar membatik. Lihatlah Singapura. Secara alam dan budaya, tentu Indonesia lebih “menang” dibandingkan Singapura, tetapi wisata mereka berhasil menyedot banyak wisatawan/ turis dengan banyak membuat daya tarik baru, seperti contohnya Universal Studio. membatik Kiape ke kabar? Biaselah *belajar bahasa* Masih di desa Gantung, pembaca setia Laskar Pelangi pastilah tahu desa ini adalah latar belakang lokasi novel dan film Laskar Pelangi. Ya, kami tentunya mengunjungi Museum Kata (Andrea Hirata) yang diwarnai warna-warna indah dan mencolok. Dari sini kami menuju danau untuk belajar “Bahasa Belitong”. Belajar bahasa di tepian danau bekas galian tambang timah dengan warna semburat jingga langit sore yang romantis ditemani kudapan (bahasa Belitong “jaja”) yang dibungkus daun simpor dan dua guru yang humoris membuat kami mudah menghapal beberapa kata dasar untuk percakapan dengan warga setempat. Malamnya peserta dibagi dalam kelompok-kelompok dan tinggal di rumah warga. Pemilik rumah yang saya tempati sepasang orang tua yang anak-anaknya bekerja di pinggiran Jakarta, dengan ramah menerima kami. Setelah mandi dan beramah tamah singkat, kami berangkat ke Gedung Serba Guna untuk makan malam (“Makan Bedulang”) yang dibuka dengan tarian “Gambus Inang-inang". Makan Bedulang adalah makan lesehan ala Belitong Timur, dimana tiap empat orang mengerubungi satu sajian makanan berisi nasi, lauk (gangan laut/ ikan, sate ikan yang mirip otak-otak), sayur iding-iding, sayur pelepah kelapa, sambal dan kue tradisional seperti jukong. Hari Kedua, 23 September 2014 Perut sebenarnya masih kenyang karena ibu pemilik rumah sudah menyajikan kopi susu dan jaja. Tapi kami ditawarkan makan pagi ala Belitung, makan di rumah panggung milik seorang nenek. Menunya cukup unik, yakni berego. Anda mungkin bisa membayangkan kwetiaw yang dipilin rapi dengan kuah sayur ikan dan sambal yang pedas. Dari rumah panggung kami sempat melihat dan berfoto di replika Sekolah Muhamadiyah yang dijadikan tempat shooting film “Laskar Pelangi”. Dari Gantung selama sekitar 1 jam kami pindah ke Kecamatan Dendang. Datang ke sini harus pagi sekali, untuk melihat proses pembuatan gula aren yang difermentasi dari air aren dengan kayu mentubar. Gula yang dihasilkan memang beda dengan teksturnya sangat halus dan rasa manisnya pas serta tanpa bahan pengawet. Selesai menikmati manisnya gula aren, kami harus naik truk selama kurang lebih 20 menit menuju perkebunan lada. Dua puluh menit yang terasa menantang, bukan hanya kami harus naik truk di tengah panas teriknya Dendang, tapi juga saat melewati perkebunan kelapa sawit, kami harus pandai melindungi diri dan menghindar dari cabikan helai-helai pelepah kepala sawit yang menjuntai. Setelah belajar menjadi petani lada, dengan bis, kami berangkat menuju Pantai Punai. Ah pantai, saya jadi teringat cerita almarhum ayah saya yang beberapa tahun lalu, jauh sebelum Belitung terkenal karena film “Laskar Pelangi”, pernah beberapa kali dinas ke Belitung dan beliau dengan gaya sangat ekspresif menceritakan betapa indahnya pantai-pantai di Belitung. Selama perjalanan ke pantai sambil beristirahat mendengarkan cerita Mas Syarif tentang legenda Belitung yang menurut cerita artinya adalah “Bali Sepotong” saya bergumam dalam hati, “setelah sekian belas tahun, akhirnya saya bisa membuktikan cerita ayah tentang Belitung”. Di pantai Punai kami disambut tarian khas Belitung “Sekapur Sirih”. Kegiatan di lokasi yang nyaman dan tenang ini memang cukup padat. Sebelum makan siang, kami diajarkan cara membuat Gangan Ikan Belitung, menu yang pas sekali di Pantai yang panas dengan pemandangan pantai berpasir putih halus, angin sepoi-sepoi merasakan gangan ikan yang pedas bercampur asam manis dari nanas. Selesai makan siang kami diajarkan cara membuat kue basah tradisional Belitung dari bahan gula aren, antara lain, Jukong. Sambil menikmati angin pantai, seorang penata rias yang  luwes  memperlihatkan kepada peserta Tour tata cara dan susunan pakaian adat Pengantin Belitung. Cantik ya? Perjalanan selanjutnya adalah menuju Kecamatan Manggar. Kami berhenti makan malam di Restoran Fega sebelum check in ke hotel Oasis. Setelah check in dan mandi, dengan keadaan yang lebih segar, kami siap untuk bergaul ala warga Manggar, yang terkenal sebagai “Kota 1001 Warung Kopi”. Malam ini kami menikmati minuman kopi atau teh tarik dengan sajian pisang dan singkong goreng di Warung Kupi Milenium dihibur suara penyanyi perempuan muda berbakat yang berhasil menghidupkan suasana hingga tengah malam. Hari ketiga, 24 September 2014. Sesuai dengan motonya, “Manggar kota 1001 Warung Kopi”, saat di bis saya bisa melihat begitu banyak warung kopi di sepanjang jalan yang saya lewati di kecamatan ini. Setelah semalam mencoba mengopi di Warkop Milenium, pagi ini kami ingin menjadi orang setempat yang menghabiskan waktu di Warung Kopi “Atet”. Warung kopi di Belitung Timur mengingatkan saya pada romantisme warung kopi Betawi di dekat rumah saya tinggal di Kebalen, Jakarta Selatan, saat saya kecil dulu di tahun 1980an. Tahun itu Indonesia terutama kota-kota besar belum diserang gaya ngopi kaum urban di warung kopi modern seperti St*rbuck dan merek lainnya. Warung kopi di Belitung hanyalah warung sederhana dengan kursi-kursi kayu seadanya, pelayan yang tidak berseragam dan tampil apa adanya, beberapa sajian kombinasi kopi dan teh serta penganan tradisional. Pagi ini saya yang biasanya tidak suka kopi mencoba kopi susu, kue tradisional dan dua telur ayam kampung setengah matang. Hal yang unik dan menjadi pertanyaan saya adalah, warga Belitung terutama kecamatan Manggar mempunyai tradisi ngobrol sambil menikmati kopi di pagi dan sore/ malam hari, dengan jumlah warung kopi sangat banyak hampir di setiap pinggir jalan, tetapi Belitung tidak punya produk kopi sendiri. Beda dengan misalnya di Pegunungan Tengah Papua, mereka punya “Kopi Amungme” yang terkenal. Selesai makan pagi bis membawa kami ke Kantor Dinas Pariwisata Belitung Timur yang terletak di Kompleks Gedung-Gedung Pemerintahan Daerah Belitung Timur. Dinas Pariwisata Belitung Timur cukup kreatif dan inovatif. Ini terlihat dari penataan bagian depan kantor ini dan juga menjadikan sebagian area menjadi museum. Di museum mini ini kita bisa melihat binatang khas Belitung Timur seperti Tarsius (primata paling kecil di dunia, yang mengejutkan saya, merupakan anomali, karena tarsius menurut teori sebaran hewan, seharusnya ditemukan di Indonesia Timur), buaya, burung punai, musang dan ular. tarsius Orang Buyan membuat kapal Kater Selesai bertandang ke Dinas Pariwisata yang telah menjamu kami dengan baik, kami menuju ke Pantai Serdang. Sama seperti pantai Punai, pantai di sini juga berpasir putih lembut. Di sini kami melihat Orang Buyan (orang dari Pulau Bawean yang migrasi puluhan tahun lalu ke Pulau Belitung) membuat kapal Kater, kapal tradisional dari satu gelondong kayu yang dicat warna warni cerah. Setelah mendapat ilmu tentang pembuatan kapal, yang membuat saya yakin nenek moyang bangsa Indonesia dulunya adalah pelaut, kami diajak melihat bekas perumahan pejabat PN Timah di Bukit Samak dan terkagum-kagum dengan pemandangan di seberang rumah dinas Bupati Belitung Timur. Oh untuk urusan penataan kota, orang Belanda memang pintar. Anda yang sudah pernah ke Belanda pasti setuju. Bis menekuri jalan mulus menuju Bukit Batu, untuk melihat kelenteng Dewi Kwan Im. Kelenteng dengan bangunan beberapa tempat sembahyang ini, dibangun di atas bukit, dan banyak orang keturunan Tionghoa datang ke sini melakukan ritual Ciam Si untuk mengetahui peruntungan mereka. Ciam Si adalah tradisi khas Tionghoa yang digunakan sebagai sarana meramal berdasarkan syair-syair kuno. Ritual dimulai dengan berdoa dan menyebut dalam hati keinginan kita. Petugas akan memberikan 2 keping kayu yang dicat merah yang harus dilempar ke lantai. Setelah OK, petugas akan memberikan bambu berisi sumpit-sumpit untuk digoyang hingga jatuh satu sumpit yang telah dinomori. Petugas akan menunjukkan syair kuno berdasarkan nomor pada sumpit dan menerjemahkan arti syair kuno tersebut. Dari Pantai Bukit Batu, kami berhenti di restoran di Pantai Burung Mandi. Kalau tadi di Pantai Serdang kami melihat bagaimana perahu Kater dibuat, di sini saya bersama beberapa teman  menaiki kapal nelayan tersebut mengitari pantai. Sore sambil menunggu senja, kami menikmati pasir putih halus Pantai Burung Mandi dengan bermain permainan tradisional “Moto Lele” seperti permainan kasti dengan melempar dan menangkap bilah kayu. Acara hari ini ditutup acara puncak, makan malam dan bincang-bincang dengan Bupati Belitung Timur, yang juga adik Pejabat Gubernur DKI, Ahok. Percakapan berlangsung ramah hingga waktu bergerak cepat ke pukul 10 malam. Pak Basuri dengan ramah menceritakan rencana pembangunan di Belitung Timur. Dibandingkan dengan Pak Ahok, sosok Pak Basuri terlihat lebih ramah dan banyak senyum. Entahlah, mungkin karena Pak Ahok anak pertama hingga beliau terlihat lebih tegas dan kadang-kadang dijuluki wartawan “berani”. Tapi yang jelas keduanya punya kesamaan, cerdas, jujur, profesional dan serius memikirkan kepentingan rakyatnya. Selama 3 hari ini sulit untuk menemukan gembel ataupun gelandangan bahkan di pasar tradisional. Pasarnya pun bersih, pasar di Ciputat bisa jadi sangat buruk dibandingkan pasar di Manggar. Walau Belitung Timur jauh dari Jakarta, anehnya, beda dengan Banten/ Tangerang Selatan, semua jalan mulus dihotmix sehingga perjalanan di Belitung terasa nyaman. Saya juga melihat gaya yang “tidak terlalu pejabat” dalam artian menjaga jarak dengan bawahan atau warganya. Malamnya saya bermimpi seandainya makin banyak pemimpin daerah seperti Pak Jokowi, Pak Ahok, Pak Ridwan Kamil, Ibu Risma, Pak Basuri dan lain-lain, pasti Indonesia akan lebih maju dan makmur. Hari keempat, 25 September 2014 Tanpa terasa di saat para peserta semakin menikmati kebersamaan dan akrab (oh iya, semalam kami kumpul-kumpul lagi menikmati kopi dan singkong goreng di Warung Kopi “Milenium”) tour ini, sudah tiba di hari terakhir. Pagi ini perjalanan cukup lama sekitar 1 jam ke Kecamatan Kelapa Kampit melihat perkebunan Durian Montong Koh Hasan. Saya memang tidak suka durian, tapi penasaran ingin icip-icip serabi daun suji dan ketan dengan kuah durian montong, dan ternyata iman saya semakin kuat untuk tidak suka durian. Datang ke Belitung tidak mencoba Mie Belitung, rasanya kurang lengkap. Pagi ini lidah saya kembali menari riang menikmati campuran rasa sedap dan pedas mie Belitung yang berisi mie, tahu china, udang rebus, tauge, mentimun, kentang rebus, emping dan sambal. Uhm…sedap! Penutup yang indah di akhir "Tour de Beltim 2014" Liburan 4 hari di Belitung memang kurang untuk bisa benar-benar mengeksplorasi pulau indah ini, karena di Kabupaten Belitung (Belitung sebelah barat, di Pulau Belitung ada 2 kabupaten, Belitung dan Belitung Timur) banyak terdapat pantai indah yang masih perawan. Saya membandingkan Belitung seperti Pulau Langkawi di Malaysia. Belitung tidak kalah dengan Langkawi hanya perlu promosi yang lebih gencar dan lebih baik lagi. Saya ucapkan hormat dan terima kasih kepada segenap jajaran PEMDA Belitung Timur yang telah mengundang kami dan memberikan pengalaman yang sangat menarik tentang budaya, kebiasaan dan kearifan lokal Belitung Timur. Terima kasih juga kepada Jejak Kaki (Eva dan Santos) yang telah mengkoordinasikan peserta sebelum berangkat ke Belitung Timur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun