Ilusi adalah bayangan yang menipu. Disangka nyata, padahal tidak. Ada satu ilusi di hidup ini yang begitu dipercaya manusia. Yakni bahwa seakan-akan manusia bisa "punya" sesuatu. Bukankah manusia berjuang agar bisa "punya" ini dan itu? Jika belim "punya", ia ingin "punya". Jika mau iklan menggelitik "rasa belum punya" kita. Orang yang dianugerahi talenta untuk berkarya, dibilang "punya" prestasi. Orang yang dikaruniai anak, mengaku "punya" anak. Orang kaya sering disebut "orang berpunya". Betulkah manusia bisa benar-benar "punya"?
Perumpamaan Yesus menyingkap kebenaran, sekaligus membongkar kepalsuan (ilusi). Tokoh "orang kaya" ini menghidupi bayangan semua seolah-olah ia "punya". Ia dilukiskan sebagai orang yang berdialog dengan diri sendiri tentang topik "punya". Mulai dari posisi "belum punya" (ayat 17), "ingin punya" (ayat 18), sampai akhirnya membayangkan kalau "sudah punya" (ayat 19). Namun, akhir kisahnya tragis: jiwanya di ambil, dan ia tak berdaya! Artinya, sebenarnya ia tak "punya"apa-apa. Apa yang ada padanya Cuma titipan, karunia Allah. Termasuk juwanya sendiri, ia tak ikut "punya".
Berlagak "punya", saling menuntut "punyaku, bukan punyamu" adalah sember sengketa, termasuk di antara saudara. Seperti orang yang meminta Yesus menjadi penengah soal warisan di awal perumpamaan (ayat 13). Ilusi ini menyesatkan. Padahal sang Empunya segala sesuatu adalah Tuhan. Kita hanya pengelola segala milik-Nya yang di percayakan: waktu, tenaga, harta, talenta, keturunan. Bersyukurlah atasnya. Bekerja keraslah untuknya. Berbagilah dengannya. Bertanggung jawablah kepada pemiliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H