Senin pagi sebelum jam tujuh, anak-anak sudah datang. Baik anak SMP mau pun SMA telah siap melaksanakan upacara bendera tiap hari Senin di awal minggu pembelajaran.
Beberapa guru mempersiapkan upacara bendera termasuk para siswa yang jadi petugas hari itu. Pemimpin upacara di ambil dari siswa SMA. Demikian juga untuk petugas pengibar bendera merah putih. Untuk protokol, pembawa naskah Pancasila, pembaca naskah UUD 1945, janji siswa, pemandu lagu Indonesia Raya dan lagu wajib serta pembaca doa diserahkan ke siswwa-siswa SMP. Pembina upacara biasanya salah satu Kep Sek SMP atau SMA. Bisa juga salah satu guru yang telah ditunjuk.
Saat melepas tali di tiang bendera untuk dipasang sang merah putih, anak-anak SMA tersebut kesulitan dan terpaksa dibantu oleh guru BP yang saat itu ada. Lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan pun banyak yang fals dan beberapa siswa ada yang mendahului menyanyi. Pembacaan teks Pancasila oleh Pembina berjalan lancar, tapi saat pembacaan teks UUD 1945 sebelumnya hampir tak terdengar. Siswa yang jadi petugas pembacanya demam panggung, keluar keringat dingin. Itu pun masih di teror oleh suara protokol yang ingin melanjutkan prosesi upacara bendera. Akhirnya salah satu guru mendekati sang protokol  dan memandunya dalam pembacaan urutan upacara, Belum saatnya selesai pembaca UUD 1945 pun segera berlari ke tempat para petugas berbaris.Petugas pembaca doa juga  kurang fasih dalam bahasa Arab, demikian juga pemandu lagu daerah, ia lupa akan syairnya.
Itulah pelaksanaan upacara hari SEnin di SMP/SMA Budi Waluyo Jakrata Sealatan. Hampir tiap pelaksanaan upacara selalu saja ada yang tidaak beres.
Boleh dikata upacara hari Senin merupakan salah satu cara melatih mental siswa terutama menyangkut kepercayaan diri. Walau pelaksanaan upacara jelek, tapi para guru biasanya memberi apresiasi dengan menepuk punggung dan mengatakan kalau tadi waktu jadi petugas bagus, tingkatkan lagi. Besok lagi ya ? Siswa cuma tersenyum malu, tapi senang.
Sekolah khusus untuk anak slow learners tersebut di atas adalah berkat kegigihan seorang Ibu yang anak sulungnya mengalami salah diagnose oleh dokter. Pada usia 4 tahun sakit panas, akibat salah diagnose, anak tersebut mengalami kelumpuhan pada seluruh tubuhnya dan tidak dapat bicara (bisu ) . Demikian juga daya tangkap intelektualnya.
Dengan kasih sayang dan ketabahan seorang ibu, anak tersebut di didik dan di asuh sendiri. Mulai dari belajar berjalan, belajar bicara , dan mengenal lingkungannya.
Dari rumahnya di Jl. Aditiawarman Jakarta Sealtan, beliau tanpa putus asa membimbing putra sulungnya itu.
Usaha tanpa lelah itu di lihat dan di didengar para tetangga atau teman-teman kantor suaminya. Akhirnya banyak anak-anak teman atau tetangga yang dititipkan untuk dididik atau sekolah di situ. Hampir semua anak yang dititipkan mempunyai hambatan belajar.
Mulai tahun 1952, beliau merasa kalau rumahnya di Jl Aditiawarman sudah tak memadai dan juga perlu tambahan guru. Untuk menopang pembiayaan anak-anak ini, didirikanlah TK/SD Budi Waluyo yang ada di JL. Cisanggiri Kebayoran Baru. Tanah dan gedung di bantu oleh para donatur, termasuk departemen agraria saat itu. Tahun 1964 itu juga didirikanlah SMP Budi Waluyo. Atas tangan dingin beliau, almarhum Bapak Ibnu Sutowo juga membantu pembangunan gedung SD/SLB Budi Waluyo yang terletak di Jl Bangka Raya Jakarta Selatan pada tahun 1970. Untuk memenuhi tuntutan orang tua murid, maka pada tahun 1989 didirikanlah SMA Budi Waluyo yang beralamat di Jl Cisanggiri Kebayoran Baru Jakarta Sealatan.
Sampai saat ini Yayasan Budi Waluyo yang didirikan beliau mengelola anak-anak slow learners dari tingkat SD sampai SMA. Beliau wafat pada tahun 1992 dan berpesan pada anak-anaknya agar tetap melanjutkan apa yang telah dirintisnya.