Kontroversi Narasi!
Sejatinya sebuah peristiwa tidak perlu dinarasikan (baca, dituliskan) kembali atau dikenang dalam sejarah selanjutnya, karena narasi tidak punya kuasa untuk mewakili semua rasa yang lahir pada saat terjadinya peristiwa dalam hidup atau pasca terjadinya peristiwa.
Narasi (tulisan) terbatas, sedangkan kisah atau peristiwa hidup punya sensasi dan nilai-nilai yang kaya nan luas dan tidak bisa diwakilkan semuanya dalam sebuah mini-narasi ataupun meta-narasi.
Membuat narasi atau refleksi tentang sebuah kisah kehidupan atau pun peristiwa apa pun, hemat saya adalah sebuah bentuk batasan atas indahnya kisah-kisah hidup atau lebih radikal lagi, sebagai sebuah tindakan bodoh untuk mengingat-ingat luka dalam sejarah (jika itu peristiwa kelam).
Namun tak bisa ditolak setiap kisah itu akan menjadi sia-sia, jika dibiarkan berlalu begitu saja tanpa sebuah coretan. Disini letak kontroversi narasi; antara membatasi dan membingkai; antara mengenang dan menyakiti.
Terlepas dari kontroversinya; tulisan sesungguhnya memiliki kesakralannya. Kesakralannya tampak dari kemampuan atau otoritasnya dalam merekam seluruh sejarah perjalanan hidup, walaupun tidak semua, tetapi dia mampu MEREKAM kisah-kisah. Sejarah perjalanan; dari kelam - terang, suka -- duka semuanya dibingkai dalam tulisan-tulisan sejarah.
Tampaklah bahwa tulisan memiliki kemampuan mengubah kehidupan. Orang yang tidak mengetahui dan mengenal tulisantidak bisa memahami banyak hal; tidak bisa membaca; tidak bisa menulis dan banyak hal lainnya.
Konon ketika Adolf Hitler membantai sekitar enam juta orang Yahudi di seluruh kawasan Eropa, tulisan menjadi (salah satu) saksi bisu yang merekam; menghidupkan, dan membuat sejarah selalu diingat.
'Bahasa tulis bisa menjadi gambaran sederhana untuk, menjelaskan atau merenarasikan realitas yang terjadi silam'.