Mohon tunggu...
Sarda Safitri
Sarda Safitri Mohon Tunggu... Aktor - Legally your mind

Business Law

Selanjutnya

Tutup

Analisis

2024 Indonesia Kembali Diancam Resesi, Mampukah Berdikari Ekonomi Menjadi Solusi?

20 Januari 2024   20:30 Diperbarui: 21 Januari 2024   09:24 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

       Tidak ada yang mampu menjamin kestabilan perekonomian sebuah negara, termasuk Indonesia yang hingga kini masih dalam tahap pembangunan ekonomi. Belum selesai dengan trauma inflasi yang pernah mencapai 77,63% pada tahun 1998, Indonesia kembali dituntut melakukan pemulihan ekonomi lebih extra pasca dihantam pandemi beberapa tahun lalu, terlebih Menteri Keuangan RI Sri Mulyani telah mengatakan bahwa Indonesia harus bersiap menghadapi gelombang resesi yang diperkirakan dapat berlanjut sampai 2024 mendatang. Solusi terkait permasalahan tersebut harus segera menemukan jalan keluar. Agar kedepannya resesi ekonomi tidak lagi menjadi momok menakutkan bagi perekonomian negara ini.

         Sebenarnya resesi itu apa? Mengapa fenomena ini menjadi ancaman yang begitu mengerikan bagi perekonomian suatu bangsa? Melansir pernyataan Julius Shiskin (1974) yang memberi definisi resesi sebagai penurunan Produk Domesik Bruto (PDB) yang terjadi selama dua kuartal berturut-turut. Resesi juga dapat kita lihat pada pertumbuhan ekonomi rill yang negatif serta pengangguran yang semakin bertambah. Dampak resesi sebenarnya telah nampak di akhir tahun 2022, terjadinya PHK besar-besaran, bahan bakar yang melonjak sehingga menyebabkan daya beli masyarakat menurun.

          Salah satu faktor terjadinya resesi adalah nilai impor yang jauh lebih tinggi dibanding nilai ekspor. Menurut data BPS, impor yang dilakukan Indonesia pada 2022 naik hingga 21,03 persen. Bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia adalah "pemuja" barang-barang impor, Atmadji (2004) mengatakan "ketertarikan konsumen mengarah pada trend yang terus dikejar dalam masyarakat karena dianggap dapat menaikkan prestige mereka. Tidak hanya itu, melalui riset studi Populix, konsumen di era digital saat ini lebih menyukai pembelian barang-barang lewat e-commerce karena harganya yang lebih murah, kerapkali gratis ongkir dan sering mengadakan diskon pembelian.

          Tidak bermaksud mengekang kebebasan konsumen dalam memilih barang yang diinginkan, namun minat yang besar terhadap barang impor menjadi tindakan yang keliru karena dapat mengancam keberlangsungan produk lokal. Disadari atau tidak, masyarakat cenderung lebih bergantung pada budaya konsumerisme dibanding terlibat menjadi produsen sehingga dapat semakin menaikkan nilai impor, akibatnya potensi untuk meningkatkan nilai ekspor menjadi lebih rendah. Barang lokal yang diproduksi namun tidak dibarengi dengan permintaan konsumen dalam negeri, dapat menumpuk hasil produksi. Sedangkan disisi lain permintaan akan barang impor yang terus bertambah dan didukung kemudahan akses untuk masuk ke Indonesia, akan semakin melemahkan produsen dalam negeri.

            Begitu disayangkan jika Indonesia harus terus dihantui mimpi buruk terkait resesi ekonomi, padahal negara ini dianugerahi kekayaan alam yang melimpah serta memiliki asas gotong-royong sebagai kekuatan khas bangsa sejak dahulu. Namun potensi tersebut justru menjadi lahan basah bagi pihak asing menerapkan politik imperialismenya. Indonesia dengan segala jenis sumber dayanya ternyata masih belum mampu menjadi tuan rumah di negaranya sendiri.   

          Sebuah solusi brilian pernah dicanangkan oleh Ir. Soekarno pada pidato kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1965. Beliau mengatakan bahwa seluruh ekonomi kita harus berada dalam lingkar gotong-royong yang dibangun atas kemampuan, modal, tenaga dan kepandaian kita sendiri. Sebagai bangsa yang besar, kita harus memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Jika kita pernah berjuang untuk meraih kemerdekaan atas penjajahan negara asing, sekarang adalah saatnya kita melakukan perjuangan yang sama demi mendapat kedaulatan atas perekonomian.

        Kekayaan alam yang kita miliki hendaklah menjadi milik kita yang sebenar-benarnya, bukan sekedar formalitas, casing, atau pencitraan. Bukan dikelola asing, tenaga kerja asing, bahkan sampai dialihkan hak miliknya. Namun konsep ini bukan berarti anti modal asing, memboikot produk mereka ataupun menolak investasinya. Berdikari yang dimaksud adalah sikap nasionalisme yang tinggi dengan mengoptimalkan semua sumber daya yang dimiliki bangsa ini agar tidak bergantung pada pihak asing.

         Tujuan pembangunan Indonesia tidak hanya terbatas pada pesatnya pertumbuhan ekonomi semata, akan tetapi juga terfokus pada pemerataan ekonomi yang dapat dicapai dengan asas gotong-royong. Konsep ini memang dapat dijadikan antitesis dari era globalisasi ekonomi yang hanya akan memberi dampak pada kesenjangan, pengangguran, kemiskinan bahkan kerusakan lingkungan. Kekayaan alam dan semua yang terkandung didalamnya harus kita kelola sebijak mungkin, sehingga tidak hanya menjadi penopang kehidupan ekonomi negara namun juga tersisa untuk anak cucu kita di masa mendatang.

      Dengan gagasan berdiri di atas kaki sendiri terkait sektor ekonomi, Bung Karno merangkul seluruh entitas rakyat Indonesia untuk tidak lagi bermental tempe. Lebih percaya pada kekuatan bangsa sendiri dan teguh menjunjung tinggi jiwa nasionalisme. Namun untuk menuju kemandirian ekonomi, peran pemerintah dalam menata kembali peraturan sangat diperlukan. Keberpihakan pemerintah dapat diawali dengan langkah konkret dalam mereformasi hukum. Sehingga rakyat dapat leluasa merasakan keadilan dan kemerdekaan ekonomi.

      Jadi, apakah berdikari ekonomi yang pernah dicanangkan oleh Bung Karno mampu menjadi pahlawan yang memberi solusi terhadap ancaman resisi di negara kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun