Ritual Manghuntal Raga-Raga adalah warisan berharga yang telah diturunkan dari nenek moyang Suku Batak Toba dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dahulu, ritual ini memiliki tujuan yang sangat sakral, yaitu meminta kepada leluhur yang sangat dihormati agar memberikan keturunan kepada pasangan yang belum dianugerahi anak semenjak mereka menikah.
Di sebuah rumah parsantian (rumah tempat berkumpul marga yang memiliki leluhur yang sama), terdapat sebuah benda yang disebut Raga-Raga. Raga-Raga ini terbuat dari kayu, bambu, dan ijuk (serat batang pohon enau) yang berasal dari Toba. Raga-Raga adalah rak kayu yang tergantung di dalam rumah Batak. Rak ini diikat dengan tali rotan, dan diyakini bahwa menyentuh tali rotan ini dapat membawa keberuntungan. Biasanya, Raga-Raga ini menjadi tempat untuk patung Debata Idup. Yang menarik, Raga-Raga ini dihiasi dengan kepala singa yang mirip dengan teras (sokkor) rumah Batak Toba dalam versi miniatur. Raga-Raga ini digantung di bagian tengah rumah parsantian dan kadang-kadang ditempatkan di atas para-para (rumah ibadah bagi orang Batak Toba tempo dahulu sebelum masuknya agama Kristen dan Islam ke Tanah Batak).
Para-para itu berbentuk empat persegi, dihiasi dengan dedaunan, kain, dan seutas tali rotan yang diikatkan di tengahnya. Raga-Raga ditempatkan di atas para-para ini, digantung tinggi di dalam rumah besar, dan dari situlah dimulai upacara yang disebut mamampe raga-raga, kata yang berasal dari dipampe (digantungkan).
Pada saat upacara, wanita yang mandul, atau disebut Boru na hol, tidak hanya menari mengelilingi Raga-Raga, tetapi juga mengenakan pakaian adat yang indah dan khas Suku Batak Toba. Pakaian adat ini terdiri dari ulos, kain tradisional Batak yang dihargai tinggi dan memiliki makna simbolis yang dalam bagi masyarakat Batak Toba. Ulos dipercaya sebagai lambang keanggunan, keindahan, dan kebesaran, serta melambangkan kekuatan roh leluhur yang dihormati dalam ritual ini.Sambil menari, wanita-wanita ini membawa kue persembahan yang dibungkus dalam kain dan digendong di punggung. Kue persembahan ini melambangkan rasa syukur dan penghormatan kepada roh leluhur atas berkah yang mereka harapkan akan diterima. Selama upacara, para wanita juga membiarkan diri mereka diperciki dengan air sari limau. Air sari limau ini dipercayai memiliki kekuatan spiritual untuk membersihkan dan memberkati.
Tak jarang, dalam upacara ini juga dipersembahkan seekor sapi atau kerbau sebagai bentuk penghormatan yang lebih besar kepada roh leluhur. Hewan-hewan ini dianggap sebagai simbol kekayaan dan kelimpahan, serta diharapkan akan membawa berkah kepada pasangan yang berharap untuk mendapatkan keturunan.Setelah persembahan-persembahan ini dilakukan, upacara dilanjutkan dengan mengguncang para-para roh, manghuntal ragu-raga. Para peserta upacara, termasuk wanita dan lelaki yang mandul, mencoba untuk mencengkam tali rotan yang tergantung dengan harapan akan mendapatkan berkah pembawa keberuntungan dan rejeki yang berlimpah. Mereka percaya bahwa jika mereka berhasil mencengkam tali rotan ini, berkah ini akan turun dari roh leluhur dan membawa kebahagiaan yaitu keturunan serta kelimpahan bagi mereka.
Dahulu, masyarakat Batak Toba menganut kepercayaan agama Parmalin, yang menghormati Ompu Mula Jadi Na Bolon, Tuhan yang dipercayai sebagai Maha Awal dan Maha Besar, yang memiliki sifat sebagai pencipta dan awal dari segala yang ada. Mereka memandang Ompu mula jadi na bolon sebagai penguasa alam semesta dan pemimpin spiritual bagi masyarakat Batak Toba. Dalam kepercayaan ini, setiap unsur alam dianggap memiliki roh atau semangat, termasuk dalam benda-benda seperti batu, pohon, sungai, dan gunung.
Namun, pada abad ke-19, agama Kristen mulai masuk ke Tanah Batak melalui upaya misionaris dari Jerman dan Belanda. Misionaris-misionaris ini bertujuan untuk menyebarkan ajaran Kristen di antara masyarakat Batak Toba, yang pada saat itu masih sangat kuat dalam keyakinan agama Parmalin. Proses masuknya agama Kristen tidaklah mudah, karena masyarakat Batak Toba memiliki keyakinan dan praktik keagamaan yang telah tertanam dalam kehidupan sehari-hari mereka selama berabad-abad.
Meskipun demikian, lambat laun, sebagian masyarakat Batak Toba mulai menerima ajaran Kristen dan meninggalkan kepercayaan agama Parmalin. Perubahan ini juga berdampak pada tradisi-tradisi keagamaan mereka, termasuk Ritual Manghuntal Raga-Raga. Seiring dengan berkembangnya agama Kristen di kalangan masyarakat Batak Toba, tradisi ini perlahan-lahan mulai terlupakan dan jarang dilakukan.
Padahal, Ritual Manghuntal Raga-Raga bukan hanya sekadar praktik keagamaan, tetapi juga merupakan bagian penting dari identitas dan warisan budaya masyarakat Batak Toba. Tradisi ini mengandung makna yang dalam, karena melalui ritual ini, masyarakat menghormati leluhur mereka dan meminta restu untuk kelangsungan keturunan. Oleh karena itu, tradisi ini seharusnya dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sejarah dan budaya nenek moyang kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H