Mungkin masih terlalu gegabah jika percaya "film merupakan masa depan kesusastraan". Sebab, kedua hal ini memiliki jurang media yang berbeda. Kesusastraan seakan bahan mentah--dan oleh karena itu bisa dinikmati sesuai selera pembaca--sedangkan film menyuguhkan hasil jadi imajinasi--dengan ruang pemaknaan yang menyempit bagi penonton. Namun, jurang ini, seiring waktu juga teknologi, berangsur-angsur terjembatani. Satu di antaranya oleh film Life of Pi yang pertama kali terbit sebagai novel yang ditulis oleh Yann Martel tahun 2000 dan difilmkan pada 2012 oleh Ang Lee.
Film ini mampu menyuguhkan ruang pemaknaan yang sangat luas. Setelah disuguhi pemandangan gambar yang menakjubkan tiada henti. Lalu diakhiri dengan pengakuan yang mencengangkan di akhir cerita. Ya, titik kuatnya ada di siasat penceritaan. Sebab, cerita serupa Life of Pi sesungguhnya bukan yang pertama. Tema kanibalisme di sebuah sekoci di tengah laut mengingatkan saya pada buku The Boat: Singapore Escape, Walter Gibson--di buku ini, kanibalisme ditudingkan dengan sinis dan menjijikan kepada orang Sumatra. Pantas Life of Pi sebagai sebuah novel sempat ditolak beberapa kali oleh penerbit besar perihal orisinalitasnya.
Namun, lagi-lagi siasat penceritaan Yann Martel-lah yang begitu cerdas, indah, sederhana, memikat dan menggugah. Ia mampu bertahan membuka kunci ceritanya persis di bagian penutup. Juga teknologi sinematografi di bawah sutradara Ang Lee yang begitu menakjubkan (saya melihatnya dengan IMAX 3D) menyuguhkan ekspresi memikat meski proses pembuatannya konon hanya di sebuah studio kolam di Taiwan. Cerita berbingkai ini berhasil dengan gemilang mengisahkan sisi gelap manusia.
Sisi gelap manusia terdapat di dalam diri setiap insan yang bisa muncul ke permukaan dalam keadaan yang paling buruk--seperti Harimau secepat kilat menerkam dan mencabik-cabik Hiena. Maka, jika diurut berdasar kisah kedua yang diceritakan Pi kepada dua orang pegawai asuransi, maka: Zebra adalah pelaut yang terluka yang kemudian dimakan oleh Heina, seorang kru kapal, yang berusaha dicegah oleh Orangutan yang taklain adalah ibu Pi yang juga kemudian dimakan oleh Heina. Dan, Heina kemudian dibunuh oleh Pi yang taklain adalah Harimau itu sendiri.
Namun, dengan ruang pemaknaan yang begitu lebar termasuk pulau misterius yang taklain adalah tubuh ibu Pi yang membusuk dengan ribuan tupai yang menggambarkan belatung yang mendiami mayat dan kolam asam yang taklain adalah cairan asam dari lambung bangkai, maka Pi tak punya pilihan untuk meninggalkan mayat ibunya terkasih.
Namun demikian, sekali lagi dengan ruang pemaknaan yang begitu lebar, masih ada (harus ada) pemaknaan lain bahwa Pi bukanlah Harimau. Bisa jadi Harimau adalah koki bengis yang melayani ibu Pi makan di kapal kargo dengan kasar: Richard Parker! Selebihnya? Terserah Anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H