Isu seputar kekerasan seksual di lingkungan pendidikan akhir-akhir ini sering mencuat ke permukaan. Hal tersebut tentu menjadi buah bibir dan fenomena yang menggemparkan bagi sebagian orang. Pasalnya, institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat untuk menimba ilmu dengan penuh kenyamanan, ternyata masih tidak luput dari adanya ancaman tindak kekerasan. Kondisi ini jika dibiarkan maka akan menodai nama baik institusi pendidikan yang bersangkutan dan merusak masa depan generasi penerus bangsa.
Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak mencatat terjadinya tindak kekerasan di Indonesia sepanjang 2023 sebanyak 23.894 kasus dengan rincian korban laki-laki sebanyak 4.931 dan korban perempuan sebanyak 21.079. Merupakan bukti bahwa perempuan seringkali menjadi sasaran tindak kekerasan seksual. Dalam institusi kampus misalnya, tidak sedikit adanya laporan yang masuk mengenai dugaan kekerasan seksual. Meskipun tidak semua, tetapi mayoritas korbannya merupakan perempuan.
Melihat kasus yang sempat viral di Twitter (X) beberapa waktu lalu sebagai contoh, di mana terjadi kasus kasus seksual di tingkat kampus. Tersiar kabar jika terdapat salah satu aktivis UKM UNY yang melakukan tindak pelecehan seksual. Menurut informasi yang beredar, pelaku merupakan seorang senior dari korban di salah satu UKM di kampusnya. Pasca kejadian ini terungkap, diketahui korban sempat mendapat tuduhan negatif dari berbagai pihak karena dinilai telah mencemarkan nama baik UKM. Merupakan keputusan yang cukup berat bagi korban untuk mengangkat kasus ini ke permukaan, karena banyaknya tanggapan yang kurang mengenakkan dari sekitarnya. Kabarnya meskipun pelaku sudah meminta maaf dan diberikan sanksi, namun pelaku masih sering didapati melakukan aktivitas di internal organisasi seolah tak pernah melakukan kesalahan. Hal itu nampaknya tidak sebanding dengan trauma yang dialami korban setelah mengalami tindak pelecehan seksual.
Langkah korban untuk membuat laporan atas tindak kekerasan seksual yang menimpa dirinya adalah langkah yang cukup sulit. Ancaman dan intimidasi dari berbagai pihak yang diperoleh sang korban merupakan satu alasan kuat mengapa banyak kasus kekerasan seksual yang belum terungkap ke permukaan. Hal ini seperti fenomena gunung es, hanya sedikit yang tampak ke permukaan. Korban dari tindak kekerasan seksual berada dalam kondisi yang serba salah. Teror trauma yang menghantui korban semakin membuatnya merasa tidak berdaya, namun di satu sisi ia harus memperjuangkan hak-haknya. Oleh karena itu perlu adanya perlindungan dan pendampingan yang cukup kuat bagi korban kekerasan seksual untuk memenuhi hak-haknya.
Tak hanya itu, beberapa waktu lalu sempat heboh pula kasus kekerasan seksual yang membuat masyarakat Indonesia geram. Pasalnya, aksi tak senonoh ini dilakukan oleh seorang pengurus pondok pesantren yang merugikan belasan santriwati. Parahnya, aksi ini baru terkuak setelah bertahun-tahun lamanya dan sudah memakan belasan korban santriwati. Hal ini merupakan bukti kuat bahwa di lingkup institusi pendidikan yang notabennya adalah tempat yang berisi orang-orang terpelajar, masih tak luput dari adanya ancaman tindak kekerasan seksual. Jika hal ini terus dibiarkan, lantas mau dibawa ke mana masa depan para generasi penerus bangsa kita ini? Melihat banyaknya korban yang rata-rata adalah perempuan, mengundang sebuah tanya, apakah masih ada tempat yang aman bagi perempuan saat ini?
Seringkali saya mendapati adanya ungkapan jika perempuan seharusnya tidak "memancing" para lelaki, sehingga tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Hal ini terdengar tidak adil karena kesannya hanya perempuan saja yang disuruh untuk menjaga diri, sedangkan laki-laki seolah bebas bertindak dan ketika terjadi tindak kekerasan seksual, mereka tinggal menyalahkan perempuan. Mengapa tidak saling mengintropeksi diri saja tanpa harus saling menyalahkan satu sama lain? Karena bagaimanapun, kasus kekerasan seksual seharusnya tidak boleh terjadi, baik korbannya perempuan maupun laki-laki.
Bagaimana seharusnya menyikapi hal ini?Â
Mengingat institusi kampus adalah wilayah yang cukup berpotensi terjadi kekerasan seksual, maka perlu ada penegakan regulasi dan hukum yang cukup kuat. Beberapa perguruan tinggi memang telah membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) sesuai mandat dari Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, namun hal itu nampaknya belum dapat menjamin kebebasan sepenuhnya atas terjadinya tindak kekerasan seksual. Perlu adanya internalisasi nilai-nilai religius dan warning yang kuat sebagai pengingat bagi seluruh civitas akademika agar tidak melakukan tindakan tak senonoh tersebut.
Satgas PPKS perlu mengusut tuntas setiap laporan tindak kekerasan seksual yang masuk dengan cepat dan tidak pandang bulu. Langkah ini perlu dilakukan agar kepercayaan publik tidak hilang dan juga mampu menegakkan keadilan bagi korban. Kasus kekerasan seksual terkadang cukup rumit untuk diselesaikan. Hal ini memerlukan penanganan yang tepat agar kebenaran dapat terkuak dan keadilan dapat ditegakkan.
Berita bohong atau hoax terkadang menjadi tantangan dalam menyikapi kasus kekerasan seksual. Ditambah baru-baru ini muncul sebuah fitnah yang menimpa salah satu mahasiswa FMIPA UNY, di mana ia dituduh telah melakukan tindak kekerasan seksual. Fenomena hoax tersebut hanya akan semakin memperparah kondisi, terutama bagi para korban tindak kekerasan seksual yang sedang berusaha untuk memperjuangkan hak-haknya. Reaksi publik ketika muncul sebuah isu tindak kekerasan seksual di lingkungan kampus pasti menjadi berbeda. Banyak pihak yang sudah terlanjur malas untuk mencampuri urusan tersebut karena dikhawatirkan hal itu hanya sebuah plot twist belaka. Kondisi inilah yang pada akhirnya ditakutkan dapat membuat korban kekerasan seksual semakin tersudutkan dan memilih untuk tidak angkat suara. Tentu saja hal itu membawa dampak buruk karena sama saja membiarkan predator seksual berkeliaran bebas di kampus dan memakan korban lagi.