Gadis kampungan, berambut keriting dan berkulit hitam. Itulah diriku saat pertama kali menginjakkan kaki di gedung SMP di kota besar itu. Dengan penuh harapan aku masuk sekolah, berharap menemukan teman-teman baru yang baik hati, seperti teman-teman lamaku yang (terpaksa) kutinggalkan di kampung karena mengikuti ayah yang pindah tugas.
Tapi harapan itu segera sirna, ketika kulihat tatapan teman-teman sekelasku. Mereka tertawa sinis! “Apa yang salah dengan diriku?” pikirku. Setelah aku duduk di kursi paling depan, segera kudengar bisik-bisik; “Lihat bajunya yang kumal, sepatunya yang jelek, rambutnya yang kusut, kulitnya yang hitam.”Kini aku sadar betapa jeleknya diriku di mata teman-teman sekelasku. Aku bahkan tak berani menoleh ke belakang untuk melihat mereka. Aku terlalu jelek!
Pada jam istirahat, tak ada yang mengajakku keluar, bahkan tak ada yang menyapaku. Aku duduk di kelas sendirian. Untuk apa aku pergi keluar kalau tak ada yang menemaniku?
Sampai sebuah suara lembut membangunkanku dari khayalan tentang pulang ke rumah; “Hai, namamu Ani ya? Aku Wendy, kenalkan.” Seorang gadis berkulit putih dan bermata sipit menyapaku. Rupanya ia duduk di meja sebelah, tapi aku tidak sadar.
Penghinaan itu berlanjut keesokan harinya. Kali ini aku tahu siapa mereka; beberapa gadis yang duduk di kursi belakang. Kali ini mereka mengajak beberapa anak laki-laki untuk ikut mempermainkanku; “ Kamu dari kampung ya? Disana ga’ ada handbody ya? Badanmu kok bau sih? Ga’ mandi ya?” Aku ingin marah, tapi tak berani. Siapa aku? Hanya seorang gadis kampung, mana mungkin bisa melawan mereka yang begitu cantik dan modis? Kulit mereka terawat, rambut mereka dipotong di salon, seragam mereka bersih dan harum.
Tiba-tiba, sebuah sentuhan di pundakku! Itu Wendy yang mengajakku keluar kelas untuk menjauhi teman-teman yang sedang menghinaku. Ia mengajakku ke kantin untuk jajan, dan sejak saat itu kami selalu bersama. Ia mengajakku ke supermarket di dekat sekolah dan mulai memperkenalkanku dengan berbagai perlengkapan kecantikan. Tidak lupa, ia memperbaiki cara berpakaianku, bahkan caraku menata rambutku.
Ia juga mengajakku ke rumahnya. Itu pertama kalinya aku melihat rumah orang Cina. Di lantai satu ada toko yang penuh dengan barang dagangan ayahnya hingga terasa sumpek. Tapi ada satu tempat khusus di sudut yang disediakan untuk altar sembahyang. Ada banyak buah-buahan di atasnya, membuatku ngiler tapi sadar bahwa buah-buahan itu bukan untuk dimakan. Aku diajak ke kamarnya di lantai 3. Kamarnya begitu mewah, ada AC dan televisi. Dia juga punya banyak buku komik, 2 lemari penuh!
Hampir tiap hari aku main ke rumahnya. Kami bercerita banyak hal tentang diri kami masing-masing. Kini aku sadar kenapa ia mau berteman denganku. Karena ia juga sering diejek dan dikucilkan oleh teman-teman sekelas. Padahal menurutku dia cantik, putih, bersih dan terawat. Panggilannya adalah si Cina. Aku heran, kenapa dia mau sekolah di sekolah ini. Padahal kalau mau, dia bisa bersekolah di sekolah swasta yang mahal dan memiliki teman-teman yang kulitnya sama putih dan matanya sama sipit dengan dirinya. Tapi jawabnya: “Kenapa aku tidak boleh sekolah disini?” Aku diam tak bisa menjawab. Ia benar, siapapun berhak sekolah di manapun.
Suatu hari aku dijemput ke rumahnya. Ada acara special katanya. Aku tak tahu apa. Di masa itu, perayaan Imlek bukan merupakan hari besar dan tidak diakui oleh negara ini. Aku diajak makan bersama keluarganya; ayah, ibu, koko-koko dan cicinya. Aku diberikan semangkuk sup kepala ikan. Perutku yang sudah keroncongan langsung terasa penuh. Bagi keluargaku, kepala ikan adalah sampah yang harus dibuang, bukan dimakan. Aku berpikir; “Kenapa mereka pelit sekali, sampai kepala ikanpun dimakan?” Tak berapa lama, ibunya memotong sebuah kue bulat seperti gula merah. Tapi potongannya-pun kecil-kecil. Pikirku lagi: “Mungkin benar kata teman-teman yang lain bahwa orang Cina itu pelit. Potong kue saja kecil-kecil.” Baru di kemudian hari aku sadar bahwa sup kepala ikan adalah makanan yang paling enak buat mereka, dan bila aku diberikan kepala ikan, berarti aku sangat dihargai oleh mereka. Begitu juga dengan kue keranjang yang dipotong kecil-kecil, karena rasanya yang manis maka lebih enak bila dimakan sedikit-sedikit. Saat ini aku hanya tersenyum saja membayangkan penilaianku yang salah terhadap sahabatku dan keluarganya.
Bulan Mei tahun 1998, gedung-gedung dibakar, mobil-mobil dirazia, orang-orang Cina dianiaya. Hari itu aku mendengar kabar tentang kerusuhan yang terjadi di kota besar ini. Aku berharap tidak bertemu dengan Wendy di sekolah. Malahan aku berdoa agar dia pergi jauh dari kota bahkan negara ini agar selamat. Tapi sesampainya aku ke sekolah, aku melihat Wendy yang sedang duduk menungguku. Segera aku memarahinya: “Ngapain kamu datang ke sekolah? Mau cari mati? Cepat pulang sana!” Ia bingung, tidak mengerti kenapa aku marah. Menurutnya, keadaan masih cukup aman sehingga dia masih bisa pergi ke sekolah. Justru aku yang ketakutan, aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatku. Akhirnya ia mau menuruti perkataanku. Selama seminggu ia tidak datang ke sekolah. Tapi kemudian ia datang sekolah lagi seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Keakraban kami di sekolah membuat mereka yang membenci kami tambah “panas”. Mereka bingung mau mengejek kami dengan sebutan apa; si hitam, si keriting, si Cina atau si sipit, karena kami begitu berbeda secara fisik. Akhirnya mereka memutuskan untuk memanggil kami dengan sebutan “si Cina”. Menurut mereka, itu juga ejekan untuk diriku karena aku yang hitam dan keriting ini jelas-jelas bukan Cina. Namun ejekan itu tidak membuat kami kecil hati, kami justru semakin bangga karena kami sekarang tidak sendirian lagi. Aku memiliki Wendy dan sebaliknya Wendy memiliki aku. Kami berdua suka membaca komik dan menonton film kartun Jepang. Ketika sekolah mengadakan pentas seni, kami mengajukan diri untuk menyanyikan lagu Jepang. Semua orang mentertawakan kami, namun kami tetap semangat. Senyum gembira menghiasi wajah kami berhari-hari setelahnya. Itu adalah masa-masa yang sangat menyenangkan.
Namun kini kami terpisah jauh. Aku harus pindah kota lagi mengikuti ayahku. Sungguh berat meninggalkan Wendy, namun aku tidak bisa tinggal sendirian di kota itu. Aku bersyukur bisa mengenalnya, ia membuatku menjadi orang yang lebih percaya diri, ia menyelamatkan aku dari kejamnya masa-masa remaja. Aku tak akan pernah melupakan persahabatan kami, persahabatan dua anak manusia yang sama-sama tertindas karena perbedaan warna kulit, persahabatan “si Cina.”
“Friendship is born at that moment when one person says to another: "What! You too? I thought I was the only one.”
― C.S. Lewis
*Inspired by a true story
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H