Mohon tunggu...
Sarah Astrid
Sarah Astrid Mohon Tunggu... -

sedang berusaha menjadikan menulis sebagai hobi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Telanjang di Jimjilbang

19 Desember 2011   05:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:04 16926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Belum ke Korea kalau belum ke Jimjilbang!”Begitu kata temanku asal Korea ketika mengajak kami (aku dan teman-teman asal Indonesia) untuk pergi ke pemandian umum khas Korea atau disebut juga Jimjilbang. Maka dengan semangat kami pergi ke sebuah Jimjilbang yang terdapat di desa Pyongtaek. Begitu memasuki pintu depan. Beberapa teman mulai ragu, membayangkan mandi telanjang bersama orang-orang lain di tempat umum. Aku juga hampir membatalkan niat merasakan budaya Korea yang unik ini. Syukurlah temanku yang orang Korea memaksa kami dan buru-buru membayar agar kami tidak bisa berkelit.

Memasuki ruang dalam, rombongan perempuan harus berpisah dengan rombongan lelaki, karena ruangannya beda. Kami diberikan baju ganti serupa kaus dan celana pendek berbahan handuk, sebuah handuk kecil dan kunci loker yang dapat dipakai seperti gelang. Begitu membuka pintu ke tempat pemandian, mata kami terbelalak melihat pemandangan di depan kami, orang-orang yang telanjang bulat! Di ruangan ganti yang luas itu ada banyak perempuan telanjang, ada yang sedang nonton TV dan ada yang lagi ngobrol sambil memoleskan sesuatu di tubuh mereka, kata temanku; seperti sedang berada di taman Eden sebelum Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa. Jujur, ini bukan pemandangan biasa buat aku dan teman-temanku yang orang Indonesia.Bagi kami (atau orang Indonesia pada umumnya yang tinggal di kota, kalau yang di desa mungkin biasa mandi bersama di pancuran umum) mandi, apalagi telanjang adalah sesuatu yang sangat privat sehingga kami malu melihat ketelanjangan atau dilihat telanjang.

Segera temanku mengajak kami berganti baju (sebenarnya buka berganti bajukarena tidak memakai baju lagi, tapi kalau memakai kata membuka baju, rasanya terlalu vulgar ^.^). Dengan tenang dan percaya diri, teman kami membuka bajunya. Sedangkan kami yang orang Indonesia, membuka baju begitu lambatnya karena ketakutan, seakan-akan kami sedang mempersiapkan diri untuk masuk ke ruang pembantaian. Sambil menutupi apa yang masih bisa ditutupi dengan dua tangan, kami masuk dengan terbirit-birit ke ruang mandi, takut dilihat orang lain. Tapi ternyata tindakan kami yang “aneh bin norak” itu justru menarik perhatian pengunjung lain. Segera kami masuk ke jacuzzi(kolam buih), berusaha menutupi ketelanjangan kami. Awalnya kami tidak berani melihat satu sama lain, tapi lama kelamaan kami jadi terbiasa dan justru saling bercanda tentang bentuk tubuh kami masing-masing (ini jadi TOP secret kami bersama ^.^). Kami berpindah dari satu jacuzzi ke jacuzzi yang lain, menikmati kolam air es, kolam pijat bertekanan air tinggi hingga sauna yang suhunya bisa mencapai 85° C. Setelah itu kami diajak menggosok badan kami dengan menggunakan alat khusus hingga kulit kemerahan. Katanya hal itu dimaksudakan untuk mengeluarkan kotoran dari kulit sekaligus merangsang pertumbuhan sel-sel kulit yang baru agar kulit kelihatan sehat.

Tiba-tiba mata kami menangkap pemandangan aneh dan menggelikan (mengerikan maksudnya). Dimana ada seorang wanita (berusia 40-an tahun) berbaring telanjang di sebuah tempat tidur yang mirip tempat tidur periksa dokter, lalu ada dua orang wanita lain yang hanya memakai beha dan celana dalam menggosok-gosok badan wanita itu menggunakan sarung tangan khusus. Tubuhnya dibolak-balik, digosok-gosok, bahkan hingga ke lipatan-lipatannya (tahulah maksudnya). Melihatnya saja sudah mengerikan buat saya, apalagi membayangkannya terjadi pada saya, hi….. Tapi anehnya, wanita yang digosok-gosok itu kelihatannya sangat menikmati, dengan mata terpejam, dia pasrah saja “diapa-apain”, mungkin bagi dia rasanya seperti dipijat. Kata temanku, itu adalah layanan khusus yang bisa didapatkan dengan membayar lebih. Wah, dibayarpun aku tak mau, pikirku.

Selesai mandi, kami berganti dengan kaos yang diberikan dan berkumpul dengan teman-teman pria di ruang bersama. Cerita dari mereka tak kalah seru, karena selama mandi di jimjilbang, mereka berusaha selalu melihat keatas, untuk menghindari melihat kebawah (lihat apa coba?). Cukup mengusik harga diri mereka juga katanya. Meskipun agak risih bersama para pria karena tidak memakai dalaman, tapi karena yang lain juga begitu, lama-lama jadi biasa juga. Di ruang bersama ini pengunjung bisa tidur-tiduran atau ngobrol. Disediakan juga kantin bagi yang ingin makan (air putih disediakan gratis di dispenser-dispenser dengan kertas pipih yang bisa dibuka untuk jadi gelas). Ternyata tak hanya di dalam ruang mandi, di ruang bersama ini juga ada sauna-sauna, mulai dari yang bersuhu rendah (sauna es) hingga yang paling panas (sauna uap dari batu panas yang disiram air) juga sauna tradisional Korea (dari batu-batu mineral yang dipanaskan atau lantai yang panas).

Kemudian kami naik ke lantai atas untuk tidur. Ternyata tidur bersama (laki-laki maupun perempuan) di ruangan terbuka, bukan kamar. Memang ada beberapa“goa-goa”kecil berlapis batu mineral, tapi selebihnya adalah tikar jerami yang dipakai bersama. Sempat ragu, karena tidak pernah tidur bersama teman-teman pria apalagi dengan orang-orang tak dikenal di tempat itu. Tapi badan ini sudah “nagih”, sehingga tak lama kemudian tertidur juga. Bangun pagi, aku diajak teman untuk menggunakan fasilitas fitness yang ada, cukup untuk menyegarkan badan yang lemas.Setelah itu kami sarapan di kantin dan pulang kembali ke Seoul.

Kini, aku rindu untuk mandi di jimjilbang lagi. Selain membuat badan segar, pengalaman mandi bersama teman-teman ternyata sangat menyenangkan dan membuat kami semakin akrab. Bukan hanya karena kami sudah mengenal satu sama lain lebih “dalam”, tapi karena keterbukaan fisik juga ternyata meruntuhkan sekat-sekat bernama “jaim” (jaga image) diantara kami. Mungkin itulah sebabnya orang Korea rajin mengajak teman atau keluarga mereka ke jimjilbang (paling tidak sekali seminggu) karena selain menjadi sarana menjaga kesehatan, juga merupakan sarana rekreasi yang memunculkan keakraban.

Sempat terpikir, apa tidak ada homoseksual di Korea? Kalau ada, bagaimana kalau mereka mandi di Jimjilbang? Kata teman yang orang Korea, itu bukan masalah bagi dia asal orang itu tidak mengganggu. Wah, kalau bagi aku sih itu masalah. Lalu bagaimana dengan tidur bersama orang yang tidak dikenal, bagaimana kalau ada yang jahat atau usil? Ternyata hal tersebut sangat jarang terjadi, dan kalau adapun, maka orang tersebut akan merasakan konsekuensi berat, yaitu hukuman sosial maupun dari pengadilan, makanya orang Korea merasa sangat nyaman berada di jimjilbang.

Ingin rasanya ada jimjilbang di Indonesia, biar bisa ke sana kalau pikiran suntuk dan badan penat. Tapi kayaknya tak mungkin soalnya budaya mandi bersama di pancuran saja semakin ditinggalkan. Dan pastinya justru hal yang paling seru, yaitu ketelanjangannya-lah yang paling tidak bisa diterima di Indonesia, soalnya pakai kemben di tempat umum saja tidak boleh, apalagi telanjang di tempat umum. Karena jimjilbang termasuk tempat umum, maka pasti sudah dilarang lebih dulu sesuai UU Anti Pornografi dan pornoaksi. Jadi kalau mau ke jimjilbang, ya harus ke Korea dulu!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun