Doktrin, ideologi dan paham kekerasan yang digencarkan kelompok radikal terorisme seperti ISIS, telah menyasar pada beberapa aspek penting. Utamanya yang menjadi target adalah unsur ekonomi dan ideologi.
Ya, berbagai pendapat dan analisa para pengamat terorisme juga menyimpulkan hal senada. Bahwa aktivitas kelompok militan ini difokuskan pada dua elemen utama. Pertama adalah dari sisi ekonomi. Mereka menyebarkan doktrinasi atau paham kekerasan terhadap masyarakat kelas bawah atau ekonomi rendah.
Kenapa demikian? Pasalnya, kelompok masyarakat ini rentan diperdaya, diiming-iming dengan perbaikan ekonomi bila bergabung dengan mereka. Jadi, kalangan masyarakat bawah ini akan dipengaruhi berbagai paham dan ideologi berlandaskan ekonomi sehingga gampang direkrut.
Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah ini akan didatangi dan coba dipengaruhi, dibuai dengan janji-janji surga, dan ditipu dengan iming-iming dan harapan yang muluk. Setelah bergabung dan merasakan sendiri, akhirnya kebanyakan dari mereka tersadar telah ditipu. Akan tetapi, semua itu sudah terlambat.
Setelah masuk dalam perangkap, mereka sulit keluar dari keanggotaan kelompok radikal terorisme. Mereka yang bergabung dengan ISIS, sulit untuk keluar karena tak segan-segan akan ditembak mati. Memang ada sebagian kecil yang berhasil “kabur” dan keluar dari cengkeraman kelompok teroris ISIS. Mereka yang berhasil kabur ini mengungkapkan kehidupan di sana yang sangat mengerikan. Kehidupan yang dijalani lebih menderita ketimbang ketika di Indonesia.
Kemudian, dari unsur ideologi, kelompok radikal terorisme berusaha keras untuk mengotori akal, pikiran dan hati orang-orang di birokrasi. Hal ini bertujuan agar proses kebijakan pemerintah dapat dipengaruhi. Kelak, mereka berharap arah pemerintahan akan sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Contoh konkretnya, salah seorang pejabat pemerintah di Batam diduga menghilang karena bergabung dengan kelompok ISIS. Ini menjadi salah satu bukti terbaru dari pola penyebaran ideologi ISIS.
Nah, belajar dari kasus teror yang terjadi di Prancis beberapa waktu lalu, kita harus memahami bahwa masalah utama dari terorisme adalah ketidakadilan dan ketidakpedulian. Lantaran itu, upaya pencegahan paham kekerasan/radikal dan terorisme di kalangan masyarakat, , memerlukan metode yang berbeda-beda. Di antaranya adalah melalui pendekatan kultural atau budaya lokal. Pendekatan kultural diyakini mampu menjadi alternatif dalam mencegah dan membendung paham radikal dan terorisme karena ia menyentuh langsung ke akar masalahnya, yakni terkait dengan masalah lokal seperti kebijakan, keterasingan, dan kemiskinan.
Nah, pendekatan kultural ini memiliki posisi penting, sehingga ia harus pula diterapkan pada pendidikan di sekolah. Siswa harus sejak dini diajari dan dibiasakan untuk melakukan penyelesaian konflik, atau membudayakan permainan-permanainan berkelompok yang melibatkan orang banyak, misalnya permainan gasing, layang-layang atau petak umpet
Nilai-nilai lokal melalui permainan tersebut bisa menjadi model pengajaran di sekolah yang efektif dalam mencegah paham radikal dan terorisme di kalangan siswa. Para pendidik bisa memodifikasi atau merekayasa nilai-nilai permainan lokal ini menjadi bahan ajar guna memperkuat hubungan dan silahturahmi antar individu dan antar kelompok. Alhasil, dengan sendirinya potensi gesekan konflik dapat dikurangi atau bahkan dihindari.