[Note: this post was originally published at sarapannasigoreng.blogspot.com]
Rambut keriting digoyang-goyang
digoyang-goyang sampai mati
-- me --
Setelah nonton beberapa lama barulah sy sadar, film ini mengambil setting tahun 1999, saat demam Y2K menggila. Kalau dibilang tidak sesuai harapan, ya memang tidak sesuai harapan. Trailernya menjanjikan saya sesuatu yang lain. Bukan... ini.
Bukan adegan pembuka yang seolah menampilkan seorang pria membangunkan kekasihnya dari tidur dengan belaian sayang, yang ending-endingannya kamera menyorot wajah pria kedua, serta mulut sang wanita yang dilakban agar tidak bisa menjerit.
Bukan bungkusan kresek yang mengambang di danau dan dipatuk-patuk burung liar, dan jelas bukan cara sutradaranya menggambarkan kondisi potongan tubuh sang istri yang diculik.
Tapi boleh juga. Akhir-akhir ini film2 terlalu mudah ditebak jalan ceritanya, bahkan yang dilengkapi dengan twisted plot pun sudah mudah ditebak. Usang. A Walk among The Tombstones, meski pemilihan warna dan cahayanya usang (dimirip-miripkan dengan pilem2 tahun 99), memberi kesegaran, sesuatu yang berbeda.
Analoginya, kalo sy cowok kaya umur 50th, mungkin sy akan meninggalkan pegawai-garis-miring-simpanan umur 20an saya dan mulai mencari wanita belum menikah yang berusia 30 tahunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H